BERUBAH ITU DIAM!

=THE DANCING LEADER’S INSIGHT=

Habis sudah e-book dari @bukik kubaca. Judulnya The Dancing Leader (bisa didonlot di sini). Jika mendengar dari judulnya, biasanya yang kebayang adalah gambar orang berdasi memakai jas, atau tulisan tegak berdiri di-bold, di bawahnya tertulis kata-kata “how to…..”.  Bayangan itu luluh seketika saat melihat hasil donlot-an The Dancing Leader. Bukunya simple dan gak neko-neko. Tidak ada embel-embel riset ataupun hasil wawancara dengan tokoh terkenal dan lain sebagainya. Namun, isinya itu loh!

Judul artikel ini menukil salah satu inspirasi yang dikandung buku itu. Sebuah quote yang sangat unik dan judgement yang keras. Menyerang tajam ke dasar opini kita bahwa berubah itu tidak dalam keadaan diam. Kita harus aktif untuk mencipta perubahan. Tidak akan ada perubahan jika kita hanya NATO (No Action Tweet Only) misalnya. Darah aktivisku pun ikut bicara. Omong kosong apalagi ini?! Hehe.. lebay… Bagaimana mungkin kita akan berubah jika kita hanya berpangku tangan sedikit bersandar di bangku taman?! Mungkin iya jika kita menganggap perubahan adalah apa diberikan kepada kita. Tapi jelas saja kita bukan menjadi subjek yang aktif dalam perubahan dan niscaya perubahan itu hanya menghancurkan diri kita! Kira-kira seperti itulah darah aktivisku mengumpat. Nyerocos gak karuan dan lama-lama menghentakkan kakinya ke atas tanah lalu terjatuh terguling-guling sembari berteriak laiknya penyair gila. Bayangkan!

Anyhow, mungkin saja kemarahan itu juga terletup di antara otak-otak kalian wahai kawan. Ketika dihadapkan pada suatu kondisi dimana bukan kalian yang memegang kendali, kalian cenderung melawan ataupun menyerah atau juga mengeluarkan sikap-sikap negatif lainnya. Apalagi saat posisi kalian adalah menjadi pemimpin. Wah, tambah beringas lagi respon yang akan kalian keluarkan. Iyakah kawan?

Mungkin dan hanya mungkin, justru respon inilah yang diinginkan oleh kawan @bukik dalam bukunya yang sensasional ini. Agar kita semua mempertontonkan pola-pola lama dari perubahan, yakni REAKTIVITAS. Respon-respon tersebut di atas adalah sebuah respon reaktif dan @bukik berhasil menelanjangi kita semua. Iyakah? Nah, sekarang tinggal kita yang memutuskan. Membalasnya dengan respon reaktif yang lain atau mencoba berkreasi dengan memberikan apresiasi terhadap konsep tersebut. Silahkan pilih!

Listen

Berubah itu Diam. Tentu saja ungkapan ini menihilkan konsep bahwa setiap manusia adalah agen perubahan. Berubah itu diam berarti apa yang berubah tidak harus selalu diawali oleh sebuah tindakan. Berubah itu diam menjadikan manusia sebagai subjek transenden yang dengan transendensinya ia akan mencapai perubahan. Tentu bukan ini yang dimaksudkan oleh @bukik. Dalam bukunya, Berubah itu Diam dimaknai sebagai suatu keadaan sadar akan ritme.  Keadaan sadar akan ritme yang membedakan antara mendengar dan mendengarkan. Kita bisa mendengar suara lagu tetapi ritme dari lagu tersebut harus didengarkan. Kondisi diam membantu kita untuk mendengarkan.

Seorang kurcaci dengan drive yang begitu tinggi tiba-tiba mendatangi perbincangan kita, kawan. Dia berkata, “Apalah ini sebuah perubahan jika kita tidak berubah?! Apalah ini sebuah perubahan jika kita hanya berdiam diri dan mendengarkan?!”. Sekali lagi kawan, kurcaci ini mempertontonkan respon reaktif yang tak perlu. Dia menjadi ciut saat kuteriaki, “KAU, dan BANALITASMU tak cukup mampu mengajak semua orang untuk BERUBAH!! Maka DIAM dan DENGARKANLAH!!”

Mungkin ada manfaatnya jika kita bahas sedikit tentang respon reaktif. Ingat-ingat dulu. Okay, respon reaktif atau juga dikenal sebagai reaksioner saat dilekatkan pada subjek individu, adalah suatu energi positif yang muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut kadangkala bersifat abadi, seperti kematian. Orang yang reaksioner biasanya adalah orang yang sedang terancam, entah itu secara biologis ataupun psikis. Jika kita bisa menelisik lebih jeli, sebenarnya kita semua, manusia, saat ini adalah dalam keadaan terancam. Terancam oleh apa? Terancam oleh Ide kita sendiri. How come?

Seperti pada pengantar di awal buku @bukik, ia merasa semakin dia banyak tahu tentang sesuatu semakin ia menemui kondisi baik dan buruk. Semakin dia tahu semakin dia yakin tak ada yang dapat dilakukan terhadap kondisi buruk dan hal itu menjadi ancaman baginya sehingga muncullah respon reaktif yang saat itu dia namakan kekecewaan. Kondisi seperti ini dimulai saat kaum modernis menancapkan manifesto bahwa manusia adalah subjek dari dunia. Akibatnya, manusia dianggap sebagai satu-satunya pelaku dan satu-satunya entitas yang menanggung segalanya. Termasuk ide dan beban perubahan. Jadi sebuah tindakan wajib dilakukan manusia untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang dapat menimpa dunia.

Itulah kawan mengapa pula munculnya kaum post-modernis di dunia hanya menjadi bahan olok-olok ketika mereka menasbihkan bahwa manusia bukanlah pusat dari segalanya. Kembali lagi pada Berubah itu Diam. Konsep ini sebenarnya jika tidak mau dilabeli, justru mengarah pada konsep Post-Strukturalis dimana kekuasaan diserahkan kepada relasi-relasi kuasa. Manusia hanyalah entitas kecil yang terjerat oleh relasi-relasi tersebut. Tak perlu mereka bergerak untuk mencapai peruabahan. Karena dengan diam mereka sebenarnya telah berubah.


Comments

Leave a comment