Menekur Perjalanan SDM di Indonesia

Sebenarnya ini adalah jawaban yang salah dari soal yang diberikan pengajar pada pelatihan HR Generalist yang saya ikuti. Tapi daripada mubazir, saya posting aja deh tulisan ini di sini. Saat itu pengajar memberikan pertanyaan apa kelebihan dan kekurangan SDM di Indonesia ditinjau dari kondisi internal dan eksternal organisasi. Dan berikut adalah jawaban saya.

Dalam pandangan saya, sumber daya manusia di Indonesia memiliki karakteristik dan keragaman yang unik. Jadi dalam membahas kelemahan dan kelebihan SDM, kita tidak bisa secara general mengasumsikan pandangan kita kepada setiap tenaga kerja di Indonesia. Mungkin yang bisa kita ungkap secara umum adalah persepsi kita terhadap kecenderungan yang muncul pada motivasi bekerja SDM di Indonesia. <maaf ini ga ngejawab apa-apa. Cuma sedikit catatan sebelum diskusi panjang>

Satu lagi batu tolakannya adalah, bahwa Indonesia telah didesain sedemikian rupa sehingga menjadi pasar terbesar dari produk-produk luar negeri. Misalnya; jika dulu kita mandi cukup dengan 1 sabun, sekarang tiap bagian tubuh punya “sabun”nya sendiri. Akibatnya, setiap warga negara Indonesia adalah konsumen yang paling setia terhadap produk-produk dunia. Akibatnya lagi, SDM di Indonesia pada akhirnya memiliki motivasi yang sangat kuat untuk bekerja, yakni untuk mencari alat yang dapat menuntaskan hasrat mengkonsumsi mereka. Dan inilah analisis saya:

Bekerja bagi sebagian besar warga Indonesia adalah suatu fase hidup yang harus dijalani. Artinya, bekerja telah menempel pada garis hidup manusia Indonesia. Ketetapan ini diperkuat oleh kondisi sosial budaya yang mendorong setiap orang untuk memperoleh label yang terhormat setelah lepas dari masa kanak-kanak. Pada awal mula mencari pekerjaan, hampir dapat dipastikan status lebih tinggi menjadi orientasi pertama. Barulah setelah agak lama berselang, para pekerja mulai memikirkan bagaimana mencari dana yang lebih bagi kesejahteraannya. Kondisi ini sudah diantisipasi oleh korporasi dengan melakukan penjenjangan golongan dan tingkat.

Dalam perjalanannya, status sebagai pekerja akhir-akhir ini mengalami penyusutan dan perubahan makna menjadi lebih negatif. Semenjak banyaknya alternatif “pohon uang” yang ditawarkan oleh pasar yang semakin mengglobal, status bekerja kepada perusahaan menjadi beban yang cukup berat bagi sebagian pekerja, lebih-lebih para pekerja kantor. Kita mengenalnya dengan istilah entrepreneurship atau bosan jadi pegawai. 

Lain entrepreneur lain pula para pekerja yang setia kepada perusahaan. Jika di awal mereka bangga dengan predikat sebagai orang yang telah berstatus “bekerja”, maka lama kelamaan para pekerja yang setia dengan perusahaan ini akan mulai gelisah dengan kemajuan pekerjaan serta hidupnya. Di satu sisi mereka tidak rela untuk keluar dari status “bekerja” menjadi “pengangguran”, dan di sisi lain mereka juga berharap bahwa kesetiaannya selama ini akan memberikan dampak yang luar biasa dalam hidup mereka. Meskipun dalam lubuk hati mereka yang paling dalam mereka rasa itu hanya omong kosong.

Oleh karenanya banyak karyawan-karyawan yang telah lama bekerja akhirnya mulai melirik ke rumput tetangga, atau mencoba mengintip apa yang ada di atas jabatan mereka. Mulailah mereka berpikir tentang karir. Saya tidak akan membahas tentang para entrepreneur karena mereka sudah tidak bisa digolongkan sebagai SDM di Indonesia. Tidak juga saya bahas “si kutu loncat” karena tidak ada bahasan yang sesuai dengan tema kita. Kembali pada pencari karir, setiap pekerja akan mulai mengusahakan berbagai cara guna pencapaian karirnya.

Bagi karyawan yang mendapat peningkatan karir, dia akan memulainya dengan emosi yang sama seperti waktu pertama bekerja, yakni kebanggaan terhadap status yang lebih tinggi. Namun apabila dia terhenti karirnya, sedangkan tak mau ia menganggur ataupun pindah ke tempat lain, di sinilah cikal bakal wanprestasi. Bagi kebanyakan perusahaan yang telah paham dengan hal ini, maka program pengembangan karyawan menjadi solusi pertama. Akan tetapi, berapa banyak perusahaan di Indonesia yang terbiasa dengan kata “pengembangan karyawan”? (ini pertanyaan retoris)

Mungkin yang sering terdengar adalah fungsi “diklat” atau “training” yang secara nyata telah terbukti gagal dalam mengembangkan karyawan jika tidak dilakukan secara berkesinambungan dengan program pengembangan yang lain. Kendala ini muncul dikarenakan sedikit sekali pengusaha yang menganggap program pengembangan karyawan diperlukan. Atau bisa saja mereke memerlukan akan tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Di sisi lain, program pengembangan akan menggelayut erat di bawah anggaran biaya (cost) perusahaan.

Lalu apa yang terjadi dengan SDM kita? Tentu saja hilangnya rasa percaya diri dan ketidakmampuan menahan godaan dari luar mendorong mereka harus memilih, take it or leave it. Pada kenyataannya, pilihan mereka tidak se-simple itu. Tuntutan keluarga dan sosial serta-merta menciutkan nyali pekerja untuk mengambil jalan yang keras. Jika mereka bertahan, maka mereka harus siap melihat orang lain di sekitar mereka mencapai kesuksesan yang lebih tinggi dari mereka sekarang. Jika mereka memutuskan untuk pergi, mereka juga harus siap menahan ombak dunia yang belum pernah dilalui sebelumnya.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar SDM yang ada di Indonesia terdiri dari orang-orang yang take it, bahasa Jawanya nriman. Mereka menerima nasib yang mempertemukan mereka dengan pekerjaannya juga menerima apa yang akan dilakukan oleh nasib terhadap dirinya. Tanya saja orang-orang yang anda kirim ke tempat pelatihan, apa manfaat pelatihan itu terhadap diri mereka. Kalau tidak jawaban klise seperti “ingin menambah ilmu” atau jawaban langsung seperti “tidak ada selain mengikuti tugas dari kantor”, hampir dapat dipastikan sebagian besar tidak akan menjawab bahwa pelatihan ini sebenarnya untuk kebutuhan karir mereka. Hal ini dikarenakan karir, bagi pekerja nriman, hanyalah efek dari pengabdian terhadap tempat ia bekerja. Ia merasa tak dapat mengubahnya seperti halnya ia tak bisa mengubah takdir.

Jika anda menanyakan kepada teman kerja anda, “akan jadi apa kamu 5 tahun lagi?”, coba selidiki jawaban mereka. Jika mereka lantang menjawab akan jadi manager atau direktur, selidiki lagi dengan pertanyaan, “ apa yang sudah kamu persiapkan untuk mencapainya?”. Jika dia menjawab dengan lancar berarti teman anda adalah high quality employee. Jika teman anda ragu-ragu menjawab pertanyaan kedua, lebih-lebih lagi juga ragu menjawab pertanyaan pertama, bolehlah anda melabeli mereka sebagai karyawan yang nriman.

Karyawan tipe nriman bisa muncul di segala level pendidikan. Terlepas dari masih kurangnya gairah pendidikan di Indonesia untuk melahirkan manusia berkarakter dan pantang menyerah, karyawan ini juga muncul pada perusahaan yang tidak memperhatikan kesejahteraan karyawan, baik secara fisik maupun psikis. Saya ambil contoh, saya pernah bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di Jakarta. Dengan jumlah outlet pada waktu saya bekerja 4 buah dan karyawan sebanyak 300 orang. Secara kasar top management menerapkan kebijakan squeeze till dry (peras sampai kering). Karyawan dipaksa bekerja dengan kondisi yang sangat memprihatinkan (hiperbola J). Maksudnya adalah kompensasi dan fasilitas yang tidak berimbang dengan upaya yang dikeluarkan. Hampir dapat dipastikan, banyak terjadi dispute. 2 minggu saya bekerja di sana, sekitar 30 orang keluar, 20 orang di-PHK, 10 orang muntaber (mundur tanpa berita).

Hal itu menjadi lingkaran setan yang selalu berulang sampai 6 bulan saya bekerja di sana dan akhirnya memutuskan untuk resign. Yang menjadi perhatian saya adalah masih banyak orang-orang lama yang telah bekerja di perusahaan itu selama hampir 3 sampai 6 tahun dan masih bertahan. Ketika pada suatu hari saya samperin ke sana, dan saya bertanya bagaimana mereka bisa bertahan, rata-rata mereka menjawab dengan, “yah mau gimana lagi mas…” AHHAAA…!  THAT’S IT!!

Akhirnya saya pikir-pikir kembali, bahwasanya jika dilihat dari service dan product, tempat itu memang tidak terlalu menonjol di antara restoran lain. Lebih-lebih pada service-nya, saya merasa nothing’s special.

Saya akan berhenti pada satu kesimpulan sementara bahwa terdapat banyak sekali faktor yang menentukan kelebihan dan kelemahan SDM di Indonesia. Bisa dari dalam perusahaan maupun dari lingkungan di luar perusahaan. Bisa dari dalam individu maupun dari orang lain di sekelilingnya. Sepertinya pertanyaan dari trainer lebih hangat jika bisa didiskusikan secara langsung. Cheers….


Comments

One response to “Menekur Perjalanan SDM di Indonesia”

Leave a comment