
Tepat 10 tahun setelah saya mengenal konsep 7 habits barulah training mengenai topic ini secara resmi masuk ke dalam CV saya. Sebuah konsep yang sudah cukup berumur, 7 habits telah banyak berpengaruh terhadap pengembangan karyawan di beberapa perusahaan besar di Indonesia. Bahkan menurut kata kawan, sebagian besar perusahaan perbankan di Indonesia menjadikan training ini sebagai mandatory training untuk seluruh karyawannya. Suatu kenyataan yang terlambat saya sadari, karena 10 tahun lalu saya masih berteman dengan Camus, Sartre, Freire dan kawan-kawannya. Jelas buku 7 habits tak akan mampir di perpustakaan pribadi saya kala itu.
Kembali lagi pada training 7 habit yang saya ikuti selama 3 hari, cukup banyak sekali ide-ide yang mampir dan berkolaborasi dengan konsep-konsep pengembangan diri yang pernah mengendap di cerebri. Saat saya pertama kali mendapat mandat mengikuti training ini, saya sengaja tidak mempelajari terlebih dahulu konsep-konsep 7 Habits dengan membaca buku, atau browsing internet. Saya ingin merasakan kemenjadian perubahan yang akan berlaku pada diri saya saat training. Dengan kata lain, saya berusaha mengosongkan gelas saya mengenai ide-ide yang pernah saya dengar tentang 7 habits.
Hasilnya cukup mencengangkan. Beberapa ide yang ditawarkan dalam training ini ternyata sangat bersinggungan dengan paradigma yang saya imani mengenai appreciative inquiry dan appreciative living sebelumnya. Oleh karenanya, saya rasa akan menarik jika saya coba lakukan komparasi antara ide-ide 7 habits dengan appreciative inquiry. Meskipun dari segi penggunaannya, kedua konsep ini memiliki domain yang sangat bertolak-belakang. Mungkin sedikit juga saya akan bandingkan metode penyampaian materi selain isi ide yang ditawarkan.


Secara global, 7 habits mengajarkan kita tentang kebiasaan-kebiasaan yang dapat membantu kita dalam mencapai “kemenangan pribadi” lalu mengupayakan “kemenangan publik”. Ide ini sebenarnya muncul juga di dalam appreciative inquiry, hanya saja David Cooperrider tidak segamblang Stephen R. Covey dalam mensyaratkan kemenangan pribadi sebelum kemenangan bersama. Meski keduanya mengimpikan kemenangan bersama, Covey lebih suka mempertegas bahwa sebelum manusia dapat living together, harus ada syarat-syarat yang dipenuhi di dalam diri masing-masing. Semacam kompetensi pribadi agar fit pada suatu jabatan.
Agar lebih jelas mengenai titik singgung ini, mari kita kuliti satu-persatu ketujuh habit (kebiasaan) yang ditawarkan oleh Stephen R. Covey selama lebih dari 30 tahun lalu. Mumpung masih fresh, hehe…
Habit pertama adalah habit yang paling powerful. Covey secara tegas menggarisbawahi bahwa apapun yang terjadi oleh dan pada diri kita menjadi tanggung jawab masing-masing dari diri kita. Habit yang berbunyi Be proactive ini menjelaskan konsep self-fulfilling propechy secara lebih personal dan pragmatis dengan sedikit mengabaikan ide kausalitasnya. Ketika saya belajar bersama pada saat training, banyak diskusi mengenai bagaimana mengusai diri sendiri dengan efektif. Prinsip yang ditawarkan oleh Covey adalah mengadopsi ide-ide tentang Kesadaran diri, Imajinasi, Hati Nurani dan Kehendak Bebas. Saya jadi langsung teringat tentang perdebatan panjang para filsuf berabad-abad lalu mengenai akal budi, logika dan etika yang mengelilingi konsep humanisme. Sungguh ide-ide yang agung, luhur sekaligus berat, dimampatkan ke dalam satu terminologi, yaitu PROACTIVE.
Dalam paradigma appreciative inquiry (AI), menjadi proaktif adalah mengubah deficit problems menjadi affirmative topics. Langkah ini adalah langkah awal dimana siklus 4D dalam AI akan dijalankan. Topik afirmatif diciptakan dengan melakukan parafrase (paraphrase) terhadap suatu kondisi atau masalah. Analogi yang paling terkenal tentang ini adalah Setengah Kosong atau Setengah Isi.
Bila kita melihat sebuah gelas berisi air setengah dari total volumenya kita memiliki 2 pilihan untuk menerangkannya, setengah isi atau setengah kosong. Keduanya memiliki arti harfiah yang sama, tetapi memiliki tujuan yang berbeda. Dengan mengatakan gelas itu setengah isi kita sedang melihat apa yang telah ada di dalam gelas tersebut. Sebaliknya, dengan mengatakan setengah kosong, kita sedang melihat apa yang tidak ada di dalam gelas tersebut. Sehari-hari sering kita jumpai orang yang mengeluhkan apa yang tidak ada ketimbang mensyukuri apa yang ada. Dalam beberapa literatur timur disebutkan dengan mensyukuri apa yang ada kita telah membunuh pikiran negatif.
Covey memang tidak secara gamblang meminta kita memparafrasekan setiap kondisi negatif seperti dalam konsep AI. Ia menawarkan konsep Paradigm Shift untuk menolong kita agar mampu melihat segala sesuatu dengan kacamata yang berbeda. Bisa jadi pandangan kita menjadi semakin luas atau justru semakin spesifik. Apabila kita terapkan dalam konsep AI, ini berarti kita melihat masalah bukan sebagai hal yang menghambat perjalanan kita, melainkan sebagai warna-warni dalam perjalanan yang dapat dinikmati. Dengan melihat sisi positif dari segala sesuatu (melihat apa yang telah ada), kita sedang menempatkan diri kita pada banyak kemungkinan perubahan positif.
Penemuan apa yang telah ada, di dalam appreciative inquiry menjadi dasar yang penting untuk menjalankan siklus 4D. Dengan menemukan inti positif dari kondisi saat ini dan kemudian membaginya dengan yang lain, kita secara otomatis melipatgandakan kekuatan tersebut. Pada titik ini kita menemukan perbedaan lain antara 7 Habits dan AI. Dalam 7 Habits, penemuan kekuatan dalam bentuk tindakan proaktif dilakukan secara personal tanpa melibatkan yang lain. Pendekatan AI menekankan kolektivitas. Penemuan inti positif dilakukan dengan jalan dialog apresiatif (membicarakan pengalaman-pengalaman baik yang terjadi di masa lalu). Dalam workshop AI, sesi ini disebut discovery.
Habit ke-2 yang ditawarkan oleh Covey bertajuk “Beginning with the end in mind”. Sebuah konsep yang ajaib dan imajinatif. Seakan berjalan beriring dengan konsep dream dalam AI. Habit ini mengajak setiap orang untuk memulai segala sesuatu dengan memikirkan atau membayangkan bagaimana hasilnya terlebih dahulu. Tampak sekilas habit ini seakan mengajarkan kita berpikir result oriented. Pada penjelasan selanjutnya tidak seperti itu. End in mind dalam artian ini bukanlah hasil praktis seperti yang dipikirkan, melainkan suatu konsep kesadaran mengenai jati diri yang diimajinasikan dialami di masa depan.

Pembahasan mengenai habit ke-2 lagi-lagi membawa saya pada suatu filosofi dasar manusia untuk “menjadi”. Dikarenakan kita sedang membicarakan sebuah kebiasaan, maka yang kita tuju di akhir perjalanan adalah sebuah penemuan jati diri. Dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan tertentu, seseorang akan membentuk karakteristik pribadinya dimana ia secara ajaib akan mempengaruhi seluruh kehidupan orang itu. Contohnya, jika kita memiliki kebiasaan menyisihkan sebagian harta kita, maka kita akan memiliki cadangan harta di kemudian hari. Cadangan ini membuat hidup kita menjadi lebih aman dari sisi finansial. Sebaliknya, jika kita memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan uang untuk bersenang-senang, kehidupan akan membawa kita pada kondisi tidak aman ketika kita kehabisan uang.
Dengan sudut pandang kedua, kita sebenarnya diajak untuk memikirkan konsekuensi atas tindakan kita saat ini. Menempatkan imajinasi tentang diri kita di masa depan, mendorong kita untuk dapat memilih tindakan yang tepat untuk mencapai masa depan yang kita inginkan. Secara kolektif, AI juga menerapkan hal ini. Mengimajinasikan nasib kelompok secara bersama-sama menjadi modal yang sangat besar dalam menentukan langkah-langkah perubahan positif.
Kembali lagi, dalam 7 habits penentuan mimpi ini bersifat sangat introvert, sedang AI begitu ekstrovert. Appreciative inquiry membidik kebersamaan suatu kelompok dalam mengimajinasikan masa depan yang diinginkan oleh tiap-tiap anggota. Proses dialog kembali menjadi ujung pedang yang signifikan dalam proses ini.
Setelah impian bersama diciptakan, kelompok akan diminta untuk menentukan langkah-langkah yang berkorelasi positif dalam menggapai impian. Sesi ini dinamakan sebagai Design dalam appreciative inquiry. Dalam konsep design, ditemukan beberapa esensi penting mengenai keterhubungan dan kesalingtergantungan (interdependensi). Dikarenakan bersifat masif, AI membutuhkan kontribusi seluruh pihak untuk melakukan perubahan dengan mengutamakan keunikan masing-masing orang. Untuk mengatasi ketidakharmonisan dalam mendesain langkah perubahan, AI menyandar pada suatu prinsip universal.
Hal yang sama dilakukan pada konsep 7 habits. Prinsip universal juga menjadi pondasi awal untuk menentukan apakah suatu tindakan menguntungkan atau merugikan diri dan orang lain. Kedua pendekatan memiliki pandangan yang cukup serupa mengenai hal ini. Lalu bagaimana suatu langkah perubahan dapat berjalan sesuai dengan impian yang telah dibentuk, kita dapat menengok pada habit ke-3 yang berbunyi Put First Thing First.
Habit ke-3 menjadi gong penutup bagaimana seseorang dapat mencapai kemenangan pribadinya. Dengan menerapkan habit ini, konsistensi dalam menggapai impian menjadi semakin tegas. Kita tidak dapat mencapai impian setinggi langit jika kita terus menggali ke dalam bumi. Artinya, segala yang bersifat penting harus menjadi langkah prioritas.

Lawan dari segala yang penting adalah segala yang mendesak. Segala yang mendesak memiliki senjata bernama “waktu” yang menghunus tepat di depan mata kita. Sekali kita lengah, waktu akan menghancurkan hidup kita. Adapun senjata yang dimiliki oleh segala yang penting disebut “arah”. Dengan tetap berpegang pada arah, segala hambatan dalam hidup hanyalah kerikil kecil yang tak pantas mendapat perhatian. Arah dan waktu selalu bergesekan dan seringkali dimenangkan oleh waktu. Permasalah manusia adalah memiliki banyak arah dan waktu yang terbatas. Oleh karenanya, waktu selalu mampu menarik perhatian daripada arah.
Sekali kita dapat menguasi arah dan menempatkan segala yang penting pada arah yang tepat, waktu akan mudah untuk dikelola. Segala yang mendesak kehilangan muka sehingga mundur secara teratur. Tentang arah dan waktu silahkan berkontemplasi menurut pengalaman pribadi masing-masing. Semoga menemukan jawaban yang memuaskan.
Kembali lagi pada AI, pendekatan ini menjadi mandul saat berbicara tentang bagaimana mengelola segala yang mendesak. Cooperider memutusan bahwa, diskrepansi dan ketegangan antara apa yang penting dan apa yang mendesak telah selesai pada sesi penentuan topik afirmatif. Topik terpilih sudah melalui proses pareto secara tidak langsung di dalam dialog masing-masing anggota kelompok. Saat sebuah kelompok telah mampu meninggalkan pemikiran defisit, segala sesuatu menjadi penting.
Setelah memahami habit ke-3, kita diharapkan dapat mencapai kemenangan pribadi. Covey menjelaskan seseorang yang mencapai kemenangan pribadi telah berlaku independen atau tidak bergantung pada siapapun atau apapun. Orang ini mampu menggerakkan dirinya ke arah manapun. Orang ini telah meninggalkan pemikiran defisit dan mampu menyerap segalanya secara apresiatif. Saatnya orang ini mencapai kemenangan publik atau kemenangan bersama. Pada Appreciative Inquiry, kemenangan bersama dimulai sejak awal penemuan inti positif.

Pada titik ini kita kembali menemukan hal menarik tentang keselarasan kedua konsep. Untuk menuju kemenangan bersama, Covey mengajak kita mengamini habit ke-4 sampai ke-6 yang berbunyi “Think Win-Win”, “Seek First to Understand than to be Understood” dan “Synergize”. Ketiga habit ini tercermin di dalam proses dialog apresiatif, dimana setiap pasangan dialog akan memulai untuk bersepakat mencapai kemenangan bersama dengan saling mendengarkan cerita inspiratif.
Berbicara tentang habit ke-4, think win-win, kita telah mengaktivasi sistem apresiatif bersama-sama orang lain. Membiarkan orang lain berpikir menang dengan menghidupkan kembali kemenangan pirbadi menjadi inti positif dari habit ini. Covey memperkenalkan konsep rekening bank emosi untuk membantu kita memahami cara mengimplementasikan berpikir menang-menang. Dengan mendalami dan menjalankan konsep rekening bank emosi, sesungguhnya kita telah berhasil mendirikan sikap apresiatif kepada orang lain. Pada titik ini kita telah siap mengajak orang lain untuk menjadi apresiatif pula.

Adalah habit ke-5, seek first to understand than to be understood, merupakan teknik efektif untuk mengajak orang lain menjadi apresiatif. Kebutuhan seseorang untuk dimengerti sudah menjadi lebih besar sejak dulu daripada kebutuhan untuk mengerti orang lain. Oleh karenanya, dengan mencoba mengerti terlebih dahulu, kita dapat membuka pintu hati orang lain untuk dapat menjadi apresiatif bersama-sama. Dalam kondisi ini kita dapat lakukan synergize untuk membentuk dan/atau memperkuat impian bersama menuju kebahagiaan.
Ketika sinergi telah terbentuk itulah yang disebut Covey sebagai kemenangan publik atau kemenangan bersama. Tahap design dan destiny dalam appreciative inquiry dengan begitu sangat mudah dilakukan. Berbeda dengan Cooperrider yang mengajak kita kembali pada sesi discovery guna mempertahankan kondisi apresiatif, Covey menawaran habit ke-7, sharpen the saw, sebagai vitamin penyegar ke-6 habit sebelumnya. Habit ke-7 mengajak kita tetap menjadi efektif dengan memperkuat keempat dimensi diri yakni fisik, mental, emosi dan spiritual. Menjaga keempat dimensi diri akan membantu kita menjadi konsisten dalam mempertahankan kebiasaan-kebiasaan efektif sekaligus mempertahankan kelompok menjadi tetap apresiatif.

Leave a comment