Edisi #SusahGakSihJadiHRD

Pernah melihat teman satu kantor kita mrengut, jutek, muka ketekuk atau bahkan sembap perkara habis menangis? Cobalah hitung berapa orang yang mengalami “ketidakenakan” ini di kantor karena murni masalah pekerjaan. Saya berani bertaruh jumlahnya tidak akan lebih banyak dari karyawan yang bermasalah dengan atasannya.
Beberapa hari yang lalu seorang teman menghembuskan asap rokok terakhirnya dan memulai rokok yang baru. Saya mendekat dan ia menggeser sedikit badannya. Terjadilah percakapan berikut:
Saya : “Kenapa bro?”
Teman : “Ini si Rida bangkek! Kesel banged gue!”
Saya : “kenapa emangnya?”
Teman : “Bos lo sering lepas tanggung jawab gak sih?!”
Saya : “eemm…. Maksudnya gimana?”
Teman : “Nih si kampret. Gue udah capek-capek ngerjain kerjaan die, eh, giliran ada komplain masak gue yang ditunjuk-tunjuk. Bukannya ngebelain gue, eh die malah ngirim imel ke gue di-cc-in ke atasannya. Lo tau kan?”
Saya : “Si Madam Wina? Itu kan mami lo juga?”
Teman : “Itu dia bro. Se***k banged kan kelakuannya?! Jadi supervisor masak kayak gitu. Minimal ngomong baik-baik dulu lah. Ini mah kagak. Malah imel kayak gitu lagi. Maksudnya apaan nih?!”
Percakapan selanjutnya lebih banyak berisi sumpah serapah, bersautan dengan kalimat-kalimat menenangkan (dan sedikit bokis) keluar dari mulut saya.
Selepas balas pantun yang cukup melelahkan itu, saya dikagetkan oleh sebuah insight yang datang entah dari mana, menyampaikan bahwa beberapa pekan ke belakang memang banyak turnover terjadi di area tempat teman saya bekerja. Tanpa ragu saya ambil konklusi dengan sangat tergesa dan cukup berbahaya: Leadership adalah Biang Keroknya.
Disadari atau tidak, di sudut hati nurani yang terkecil, atasan mengambil peran yang cukup signifikan untuk membuat seorang karyawan bermaksud mengundurkan diri atau tidak. Anda mungkin tidak akan menemukannya pada lembar-lembar laporan exit interview yang kebanyakan berisi klise ketimbang gambar aslinya. Bahkan persoalan leadership seringkali berbias dengan ineffective management.
Kata manajemen cenderung digunakan sebagai kata pengganti “atasan” bagi para barisan sakit hati yang mengundurkan diri dari pekerjaannya. Manajemen tidak bisa mewakili aspirasi karyawanlah, manajemen sering bertindak aroganlah, bahkan sampai dengan umpatan manajemen tidak bisa menghargai pekerjaan karyawannya. Sekali lagi saya teriakan; Leadership Biang Keroknya!!!
JIka memang leadership biang keroknya, maka apa itu leadership, akan menjadi misteri yang (tidak) akan kita ungkap sekarang. Cukup berpura-puralah Anda baru pertama kali ini mendengar leadership sebagai biang kerok.
Sebelum saya mengenal baik istilah leadership, saya selalu beranggapan orang-orang yang mengikuti pelatihan leadership itu absurd. Toh, dalam bekerja kita tidak membutuhkannya seperti kita membutuhkan pensil untuk menulis, PC untuk berbalas e-mail, ataupun hape untuk membunuh bosan dan jual-beli online. #eh!
Cukuplah Leadership kita sematkan di balik pigura value perusahaan sehingga menjadi ciamik tatkala dibaca para tamu perusahan. Setidaknya mereka berpikir, “hmm, ni kantor oke juga menghargai leadership” Persetan dengan cibiran karyawan rendahan seperti saya dan teman saya atas istilah yang tampak samar-samar dan cenderung melempem di ranah praktis itu.
Tentang value berpigura, konsekuensi yang diterima tidaklah satu arah. Bukan artinya seluruh karyawan diwajibkan memiliki jiwa kepemimpinan saja, melainkan saat turbin leadership bergerak, maka roda organisasi lain terdorong semakin cepat berputar.

Singkatnya, ketika suatu perusahaan benar-benar memoles, menjaga dan memelihara jaringan turbin yang maha kompleks itu (leadership), saya mungkin tidak akan menghabiskan waktu berharga saya mendengarkan sumpah serapah yang lebih pantas dilakukan di atas panggung rock ‘n roll 90-an.
Bagaimana cara melakukannya, bukan bahasan saya pagi ini. Pengalaman saya hanya membisikkan poros-poros penting dimana impuls leadership di perusahaan dapat dirangsang secara optimal.
1. Role Model
Dalam bahasan jadul biasa kita kenal dengan sebutan “teladan”. Belakangan ini di beberapa kantor, istilah di atas bermetamorfosis menjadi “Enabler” demi memberikan nuansa kerakyatan pada benak para karyawan yang sudah empet dengan kata “leader”. Jika simpul teladan ini dirangsang, uh, efeknya jangka panjang. Organisasi di kantor tidak akan menjadi organisasi robotik yang mengoperasikan kaidah-kaidah leadership. Seluruh karyawan akan berubah menjadi sosok egaliter dengan tingkat altruisme yang tak terbayangkan. Kantor adalah taman bermain dan para leader menjadi pencipta permainan sekaligus orang yang memainkannya.
Satu hal yang perlu diyakini bersama, bahwa role-modelling bukan pencitraan. Bagi top management role-modelling adalah upaya melakukan sistematisasi atas tabiat-tabiat baik pimpinan perusahaan sehingga dapat dijalankan dan diduplikasi oleh organisasi.
Saya pernah bekerja di suatu perusahaan dimana pimpinan puncak perusahaannya adalah seorang team player sekaligus orang yang bergairah dalam menghargai aspirasi dan kinerja karyawannya. Manajemen bermaksud menularkan jiwa kepemimpinan itu dengan membuat program QCC (Quality Control Circle) dimana setiap karyawan dari semua level diberi keleluasaan untuk mengajukan setidaknya dalam satu tahun satu aspirasi perbaikan bagi perkembangan perusahaan.
Tidak berhenti di situ, program tersebut juga berlanjut dengan forum apresiasi bagi karyawan yang melakukan perbaikan dalam kualitas yang excellence menurut manajemen. Dengan begitu, manajemen dapat menduplikasi karakter kepemimpinan top manajemen kepada seluruh entitas perusahaan. So, role-modelling tanpa sistem hanyalah pencitraan belaka.
2. Budaya berbagi ilmu
Setiap orang memiliki sesuatu untuk dibagikan meskipun tidak semua orang mau menerima apa yang dibagikan oleh orang lain (kentut misalnya #ups). Akan halnya dengan berbagi ilmu, setiap orang memiliki hak yang tegas apakah mau menerima atau tidak. Jika diterima, ambil dan gunakan. Jika tidak, tinggalkan.
Persoalan di banyak perusahaan adalah bagaimana mengidentifikasi para sender (pengirim) dan receiver (penerima) pada program berbagi ini. Lalu pada cost structure mana program berbagi ilmu harus dilekatkan.
Melalui mekanisme yang mungkin tidak sederhana, apabila persoalan itu dapat diselesaikan dan budaya berbagi ilmu berjalan, hampir dapat dipastikan 80% urusan leadership hanya sekedar membalikkan telapak tangan. Sekalipun itu tangan king-kong.
3. Performance Management yang adekuat
Saya tidak berbicara tentang setiap karyawan harus dinilai dan diberi imbalan yang sesuai dengan hasil kinerjanya. Itu bukan Performance Management. Itu Reward Management. Yang saya maksud adalah upaya sistematis manajemen untuk melakukan pembagian peran dan tanggung-jawab yang proporsional dan terdistribusikan ke seluruh karyawan di semua level beserta third party.

Kekuatan performance management dalam kaitannya dengan leadership bertumpu pada obyektivitas dan rasionalitas. Oleh karenanya ini tidak boleh dilakukan serampangan, moody ataupun clumsy. Sedikit perfeksionis bolehlah untuk urusan ini.
Beberapa perusahaan menggunakan perspektif Malcolm Baldridge atau BSC atau BCG untuk membangun sistem ini. Kenyataan di lapangan berbicara sederhana, adekuasi sebuah sistem lebih sering dipengaruhi konsistensi proses dan perbaikan secara kontinyu. Itu menjadi target bersama dalam organisasi.
Efek yang ditimbulkan saat sistem pengelolaan kinerja berjalan, hubungan atasan-bawahan menjadi dua arah dan masing-masing akan terus berbagi porsi dalam mengembangkan serta memperbaiki sisi kepemimpinan di antara keduanya. Sedap!
So, kembali lagi pada premis kita di awal, bahwa masalah di dalam organisasi selalu berkaitan dengan hubungan antar manusia. Dan hubungan antar manusia di dalam kantor bertumpu di atas panggung kepemimpinan. Maka pantas jika sekali lagi kita ucapkan saat situasi di kantor mulai menjadi tidak masuk akal, leadership biang keroknya!
(Yeay! Akhirnya bisa bikin tulisan pendek! / Selamat ya dauz / Iya terima kasih)


Leave a comment