Corporate (Fetish) Culture

Edisi #SusahGakSihJadiHRD

Katanya perusahaan yang baik adalah perusahaan yang mampu membuat rencana baik dan mengeksekusi rencana itu dengan baik pula. Ulangi definisi di atas selama beberapa tahun dan saksikan sendiri, perusahaan yang baik itu bermetamorfosis menjadi pabrik mekanis diisi oleh para pekerja cyborg (setengah manusia – setengah robot). Jika habis daya kerjanya, para cyborg cukup dibuang atau diberi ijin menyalakan mode self-destruction. Perusahaan baik tidak selamanya baik, jikapun tetap baik, maka orang-orang di dalamnya menjadi “tidak baik”.

Adalah corporate culture, sebuah konsep usang yang diperbarui seiring lahirnya perspektif “kekuatan positif” di kancah organisasi dan industri. Setiap perusahaan berlomba mengerek kelesuan dan ke-statis-an kinerja organisasinya menuju budaya kerja positif, dinamis, enerjik, penuh “passion”, produktif serta berintegritas. Hampir dipastikan salah satu dari kata sifat yang bertebaran barusan menjadi seragam resmi dari paparan value setiap perusahaan.

Budaya perusahaan diharapkan mencuat dengan tempaan value yang diukir di dalam setiap sanubari karyawan. Dengan begitu, perusahaan bisa lenggang-kangkung menjalani bisnisnya dalam kondisi seburuk apapun cuaca di luar sana. Para pimpinan perusahaan percaya, budaya kerja yang dibangun di atas pondasi value akan memberikan hasil yang tidak cukup menggunakan kata memuaskan.

gaebler

Pasalnya, banyak ahli menyemburkan jompa-jampi sakti mandraguna mengenai efektivitas budaya perusahaan. Bahkan seorang CEO sebuah biro pemodalan di Amerika, Anthony Tjan, menyebut budaya perusahaan lambat laun menjadi keniscayaan bagi orang-orang yang menyandarkan harapannya kepada perusahaan. Keniscayaan ini yang dilabelinya sebagai cult culture.

Antony menjelaskan bahwa pada akhirnya alasan seseorang memilih tempat berkarir adalah suatu tempat yang ia percayai mentah-mentah akan memberikan kebahagiaan baginya. Cult Culture, tulisnya dalam artikel yang dimuat Harvard Business Review tahun 2009, telah menjadi salah satu competitive advantage bagi perusahaan.

Banyak contoh yang dapat kita saksikan bersama. Dua dekade silam perusahaan Jepang seperti Toyota, Sony, ataupun Panasonic merajai popularitas cult culture tentang keniscayaannya terhadap continuous improvement (kaizen). Efisiensi yang kala itu menjadi menu khalayak berhasil disantap dengan lezatnya menggunakan ilmu-ilmu turunan kaizen. Mentereng sekali nama perusahaan-perusahaan didikan kaizen di pasar tenaga kerja dunia. Di Indonesia kita diperkenalkan kepada Astra.

Kira-kira satu dekade terakhir, isu work-life balance bergulir tanpa ampun ke segala penjuru dunia. Tragisnya, isu ini hanya mampu dijawab oleh perusahaan-perusahaan bau kencur di bidang IT dengan progresivitas tingkat dewa. Sebut saja Google, Facebook, ataupun Twitter. Para avant-garde tersebut menawarkan budaya kaizen dalam bentuk yang sangat divergen. Radikalitasnya hanya dapat disaingi oleh sang maestro, Steve Jobs, kala membangun Apple di pertengahan 70-an. Satu-satunya perusahaan non-IT yang gemilang mengawal revolusi  work-life balance adalah Zappos.com besutan Nisk Swinmurn, Tony Hsieh dan Alfred Lin.

Google dan Facebook mempopulerkan budaya kreatif dengan berbagai sihirnya. Sebuah strategi marketing yang maha agung diterapkan, yakni dengan jalan membuka pintu seluas-luasanya kepada konsumen atau kompetitor untuk menyaksikan sendiri apa yang mereka lakukan sehari-hari. Jika Peter Drucker pernah bilang bisnis hanya eksis dalam marketing dan inovasi, maka benar adanya. Kedua perusahaan itu berhasil membuat iri semua orang dengan kejeniusan marketing berpadu dengan inovasi yang aduhai.

Di saat karyawan di Indonesia sibuk dengan seluruh rutinitas pra-pasca jam kantor, karyawan google dengan hati gembira bermain-main dengan mainan super canggihnya. Di sampingnya, karyawan facebook sibuk ber-chatting-ria dengan semua orang di seluruh dunia.

commenspaceorg

Kesibukan pekerjaan mereka dibingkai manis dengan informasi tentang kebahagiaan tatkala mengalami situasi “kerja”. Walhasil, bahkan mungkin kutu yang menempel di rambut kita juga mempercayai bahwa, “Kerja di Google enak ya!

Menurut saya tren “bekerja itu bergembira” dimulai dari sini. Para taipan cerdik bergegas menginvestasikan uangnya untuk memodali sebuah kompetisi semi-resmi dengan tajuk “most admired workplace in Indonesia”, dan dengan segera perusahaan-perusahaan latah mendaftarkan diri mereka. Taipan cerdik itu pula yang mulai membuka usaha konsultasi menjadi “most admired workplace in Indonesia”. Kriteria ditetapkan, pundi uang digulirkan.

Ujung-ujungnya, perusahaan-perusahaan latah itu berlomba-lomba menjadikan kantornya bersahabat dengan karyawan Sistem dan waktu kerja menjadi lebih fleksibel dari sebelumnya. Peningkatan kesejahteraan bukan hanya untuk pekerja, tapi juga untuk keluaraga: emak, bapak, nenek, kakek, beserta cucu-cucunya. Dengan bahasa yang halus tapi tajam, pimpinan perusahaan menetapkan value di atas profit. Visi-misi berubah, implementasi strategi dievaluasi.

Budaya perusahaan layaknya baju yang menyelimut hangat di atas kulit berkerut yang tak lagi muda. Beberapa perusahaan mampu bertahan men-supply kerutan di kulitnya dengan lotion bermerk profit. Beberapa yang lain terpaksa kembali membaca kitab efficiency for dummy. Sisanya acuh tak acuh.

Keniscayaan terhadap perusahaan yang menyejahterakan menjadi utopis. Karyawan kembali masygul meski masih berharap kantornya sekeren Google atau Facebook. Dari tiga komponen corporate culture (Red: shared basic assumption, espoused value, artifacts), hanya tersisa artefaknya. Simbolisasi atas keniscayaan terhadap iklim kerja yang kreatif, enerjik, dinamis serta berintegritas.

Program penghargaan karyawan tetap berjalan walau tersendat, waktu kerja masih fleksibel dengan berbagai batasan, media sosial di komputer perusahaan masih diperbolehkan pada jam-jam tertentu.

Artefak-artefak itu meski sudah berkarat menjadi simbol yang kuat yang menunjukkan perusahaan telah membangun budaya perusahaan yang produktif. Sebagaimana laiknya pemuja simbol, budaya perusahaan berujung pada budaya fetish.

loopjamaica

Patut dipahami, bahasa Indonesia masih terlalu immature dan banal mengartikan fetish. Saya harus merujuk pada pengertian fetish dalam bahasa non-Indo. Dalam pengertian masyarakat dunia, fetish bukan berarti kelainan seksual yang menyimpang. Fetish adalah suatu kondisi dimana kita mempercayai suatu simbol dan dalam waktu yang sama menihilkan eksistensi dari barang atau benda yang disimbolkan.

Budaya fetish berarti kita membiasakan diri menggunakan simbol guna mencapai kepuasan dari benda yang disimbolkan. Dalam kaitannya dengan budaya perusahaan, kita menggunakan artefak-artefak budaya perusahaan untuk memberikan kepuasan kepada diri sendiri bahwa kantor tempat saya bekerja, “berbudaya”.

Kita percaya bahwa lembur sampai jam 12 malam adalah wujud value integritas dan bukannya ketidakmampuan mengelola waktu. Kita percaya kegiatan team gathering merupakan wujud kekompakan dan bukannya menuntaskan hasrat “jalan-jalan” semata. Kita juga percaya bahwa morning briefing dapat meningkatkan semangat dan kualitas kerja, dan bukannya sekedar menjadi pengingat pekerjaan yang telah sengaja kita lupakan tadi malam. Kita juga percaya memperbaiki kesalahan sebagai wujud nilai continuous improvement dan bukannya ketakutan tidak dapat bonus yang besar.

Sepertinya masih banyak lagi contoh-contoh budaya fetish yang berceceran di kantor. Akan menjadi absurd apabila kita menisbikan hal ini. Dan akan menjadi luar biasa subversifnya jika kita menghancurkan simbol-simbol itu bagi perusahaan. Yang bisa kita lakukan hanya sebisa mungkin membuat diri kita selalu tercerahkan. Amin.

Referensi:

Tjan, Anthony. 2009. Cult Culture as Competitive Advantage. Harvard Business Review. https://hbr.org/2009/08/cult-culture-as-competitive-ad

Sumber foto:
http://www.cambsedition.co.uk
http://www.commenspace.org
http://www.loopjamaica.com
http://www.gaebler.com