Edisi #SusahGakSihJadiHRD
Akhir dan awal tahun menjadi momen sibuk bagi seluruh karyawan dan manajemen meruncingkan akal, menyingsingkan lengan untuk sesuatu yang bukan menjadi inti pekerjaan mereka. Seorang manajer produksi sibuk mengumpulkan laporan produksi beserta jumlah waste yang dikompres sedemikian rupa untuk mendulang frasa “meet target”.

Di seberang sana, manajer operasional mengalami panic attack akibat besarnya jumlah komplain yang diterima berbanding terbalik dengan complaint resolution yang diusung timnya. Di sebelahnya lagi, tampak manajer distribusi mendaratkan kedua kakinya di atas meja kerja sembari mengingat capaiannya yang “over target”, akibat bukan saja ia dan tim memenuhi target melainkan juga mampu memperpendek rute distribusi sampai pada tingkat efisiensi yang optimal.
Setiap orang bagai menanti vonis atas apa yang mereka perbuat setahun ke belakang. Mereka harusnya mengenal siapa algojo yang dipersiapkan perusahaan guna membayar prestasi mereka. Bagi karyawan yang buta akan hal ini, eksistensi mereka di tengah-tengah organisasi terasa absurd dan tidak tertolong lagi. Semua orang harus mengamini, tiang gantungan itu bernama KPI.
Key Performance Indicator (KPI) selama belum diterima sebagai bagian dari siklus hidup organisasi hanya akan menjadi mainan usang para akuntan. That’s why may be, untuk pengelolaannya di dalam organisasi, KPI ditangani oleh pengendali nafas perusahaan, bagian SDM (or HRD or HC or whatever). Sebelum berseteru lebih jauh kita samakan pengertiannya terlebih dahulu.
KPI yang saya maksud dalam artikel ini adalah ukuran-ukuran kuantitatif yang digunakan perusahaan dalam menilai kinerja organisasinya. Dalam praktiknya di bidang SDM, KPI di-cascade menjadi individual KPI yang lebih manusiawi.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan properti dinilai sebagai perusahaan yang berkinerja baik jika dia mencapai profit margin 25% dengan total of revenue di atas 10 triliun rupiah. Maka, % profit margin menjadi KPI perusahaan, begitu halnya dengan total of revenue. 25% dan 10 triliun rupiah menjadi target perusahaan yang sama-sama harus dicapai. Siapa yang menilai ini semua, tentu saja para shareholder perusahaan atau yang biasa kita kenal pemilik modal atau sang investor.
Saat diturunkan menjadi individual KPI, bisa jadi indikator itu berubah menjadi total of unit sold bagi manajer penjualan, % cost efficiency bagi manajer keuangan, % deffect/waste bagi manajer konstruksi dan employee productivity index untuk manajer SDM.
Individual KPI inilah biang kerok mengapa manajer produksi dan manajer distribusi di atas tampak menyunggingkan senyum bahagia, sementara manajer operasional merasa seperti terbakar di neraka. Dua orang pertama berhasil menjawab tantangan perusahaan dengan great performance yang tercetak mulus di atas performance sheet mereka atas nama pencapain target perusahaan. Orang terakhir harus mengakhiri tahun bencana itu di atas tiang gantungan KPI atas dosa-dosanya.

Sungguh sial lagi bagi orang yang baru pertama kali bertemu KPI di penghujung tahun saat masa penilaian kinerja dimulai. Saran saya, hendaklah berkenalan dengan company KPI dan individual KPI anda sesaat sebelum anda dinyatakan diterima bergabung di sebuah perusahaan. Setelah bergabung, silahkan tentukan pada tahun ke berapa anda akan diakui “meet target” oleh perusahaan anda.
Pada kenyataan di lapangan, pencapaian target tidak seserius yang dibayangkan. Banyak kegagalan pencapaian target yang bermula dari kekurangpahaman karyawan bagaimana membuat target yang baik (or tricky?). Ingat, bahwa KPI hanyalah tiang gantungan, tentang longgar atau ketatnya tali gantungan, hal ini masih bisa dinegosiasikan. Jangan sampai kita set tali gantungan yang belum-belum sudah mencekik leher kita. Periode kinerja belum sampai setahun kita sudah kehabisan nafas.
Bagaimana menyusun target yang ciamik dan aduhai, silahkan cari ulasannya di berbagai media cetak dan elektronik. Di sini saya hanya punya serpihan pengalaman setelah beberapa tahun berkutat dalam urusan performance management system di beberapa industri.
Ada tiga hal yang menjadi rujukan saya dalam memberikan asistensi para manajer lini dalam men-setting target KPI mereka, yakni: Data, Data dan Data. Tanpa data, silahkan pergi ke neraka “below target” mendahului saya. Adapun data yang saya butuhkan saya golongkan menjadi data ofensif dan data defensif.
Data ofensif terkait dengan data-data yang saya rujuk untuk mengajukan target KPI sesuai dengan prinsip SMART Target, Specific-Measurable-Attainable-Reasonable-Time Bound. Contoh data-data ini adalah data historis dan data Corporate Annual Target (CAT).
Data historis yang saya maksud misalnya, data tren penjualan unit mobil passenger di 5 tahun ke belakang akan menjadi patokan saya menetapkan berapa target penjualan mobil di tahun depan. Adapun data CAT merupakan rujukan resmi dan given bagi saya dalam menetapkan target setahun ke depan.
Kolaborasi dua data itu saja sebenarnya sudah cukup bagi saya untuk membuat target KPI yang cerdas dan memberi kesempatan bagi saya untuk bernafas lega di atas tiang gantungan. Namun, ketika manajemen mengatakan, “Hey, son. Your rope tightness is not enough to please our boss. Thighten it up, son!”, saya membutuhkan data defensif.

Data defensif adalah data yang akan saya gunakan sebagai tameng atas tuntutan target yang dampaknya membuat pekerjaan saya begitu exhausting. Saya tidak bisa menghindari benturan tetapi paling tidak saya bisa meminimalisir efeknya. Data defensiflah yang saya butuhkan.
Data ini bisa jadi, data tren industri sejenis, data kondisi organisasi termasuk kondisi SDM, data kompetitor dan secara khusus data-data yang hanya dimiliki oleh para dewa di atas sana yang dijadikan patokan dalam membuat strategic planning. Dengan data itu saya bisa mengatakan, “Well, boss. You know that our industry is going slow next year. Government policy has let us down officially, and I can ensure you that our people is not ready for the big revolution. You can swap them out, but you also know precisely that noone is ready.”
Saat manajemen memaksa kita menaikkan target setinggi langit, data defensif memberikan efek balancing. Apa yang diseimbangkan, tentu saja harapan dan realita. Manajemen terkadang juga perlu berbesar hati untuk menyadarinya. Kecuali anda bertemu dengan manajemen yang disokong konsultan dengan tingkat kredibilitas yang sundul langit, data defensif masih relevan untuk digulirkan. Jika ternyata konsultan itu yang menang, anggap saja anda kurang memaksimalkan kemampuan negoisasi anda dan menjadi development area anda.
Sekali lagi, planning KPI jauh lebih penting daripada penilaiannya. Silahkan atur seberapa ketat tali yang akan dikalungkan di leher anda yang rapuh. Karena kursi yang anda injak akan selalu siap untuk dijatuhkan. Jika terlalu ketat tali itu, maka naas bagi anda dan bagi perusahaan anda. Karena selamanya KPI hanyalah tiang gantungan.


Leave a comment