Kesejahteraan menjadi salah satu tujuan seseorang bekerja, baik itu sejahtera secara psikologis, finansial maupun sosial. Sejatinya memang benar bekerja adalah pintu menuju kesejahteraan. Namun, tidak semua pintu itu terbuka. Terkadang ada yang tertutup dan bahkan terkunci. Kuncinya ada di Pendidikan.
Telah sampai karier saya untuk mengungkap persilangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Selama ini, sepanjang perjalanan menjadi praktisi SDM, Saya beruntung mendapatkan banyak sekali exposure, experience, dan expanding ideas dari berbagai disiplin ilmu. Berawal dari pengetahuan di bidang psikologi yang menjadi latar belakang ilmu saya, berlanjut pada ilmu manajemen, perindustrian, keuangan, hingga ilmu pengelolaan aset dan resiko. Kesemua ilmu baru yang saya temui, hadir seiring tugas pekerjaan yang saya ampu sebagai praktisi SDM di beragam industri.
Saat ini, saya masih menjalani profesi sebagai praktisi SDM di bidang pendidikan. Bidang yang memberikan cakupan yang luas bagi saya untuk merefleksikan kembali perjalanan karier saya beserta dinamika di dalamnya. Menariknya, ternyata hampir seluruh aktivitas pengembangan sumber daya manusia yang selama ini dilakukan belum terlalu banyak menempatkan “manusia” sebagai subjek utama pengembangan dibandingkan sekedar sebagai “sumber daya” semata.
Justru dalam praktiknya selama ini, departemen sumber daya manusia lebih banyak terlibat di dalam konspirasi cantik guna mereduksi peran manusia menjadi mesin industri belaka dan terjebak dalam kongsi jahat menghilangkan sisi “kemanusiaan” itu sendiri.
Bagaimana mungkin manusia sebagai sentral kehidupan justru ditundukkan oleh kepentingan bisnis dan industri tak ubahnya sekumpulan robot. Bahkan dalam waktu dekat, seiring perkembangan teknologi, akan bermunculan robot-robot yang tidak butuh hari libur, uang lembur, tunjangan hari raya ataupun cuti melahirkan.
Perusahaan seperti Gojek mencontohkan bagaimana profesi operator telepon dilibas habis oleh robot dengan sangat meyakinkan. Robot-robot di Tokopedia, Bukalapak dan teman-temannya menggeser peran sales, makelar dan perantara. Yang terbaru, aplikasi e-money seperti Dana, Ovo dan Go-Pay, dengan sangat pasti mengancam profesi bankir dan para credit analyst. Eksistensi manusia terancam robot bukan hanya bualan di kartun Jepang.
Jadi, jika kita tidak mau digantikan robot atau mesin, mengapa kita terus-menerus memperlakukan SDM kita selayaknya sebatas mesin industri alih-alih memberikan kesempatan menjadi manusia merdeka?
Peran sentral praktisi SDM, meski selalu berada di dua sisi antara kepentingan perusahaan dan karyawan, sejatinya condong pada keberlangsungan bisnis dan industri semata. Di mata produktivitaslah kesuksesan pengelolaan SDM pada akhirnya dinilai. Misi personal, aspirasi karier, harapan atas pengembangan karyawan menjadi hasrat yang terukur dalam koridor industrial. Hal ini tidak dapat disalahkan. Bukankah cara pandang inilah yang memungkinkan perusahaan menghidupi bisnis termasuk karyawan di dalamnya.
Bekerja di bidang pendidikan membuat saya berefleksi, apakah ada realitas lain yang dapat dijadikan acuan guna mengembangkan sumber daya “manusia”. Di satu sisi manusia adalah makhluk berakal yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Yval Noah Hariri, dalam bukunya “Sapiens”, menegaskan bahwa pembeda manusia dengan makhluk lain adalah manusia tidak sekedar mampu menjelaskan realitas dalam berkomunikasi, manusia juga mampu menciptakan realitas.
Pada praktiknya kemampuan ini bukan hanya dalam konteks komunikasi. Seiring perjalanan evolusi, manusia sudah mampu menciptakan tidak sekedar realitas fisik, melainkan juga realitas virtual dan bahkan realitas yang ditambahkan (augmented reality). Tidak berhenti di situ, manusia bahkan mampu menduplikasi kemampuan itu ke dalam platform buatan yang dikenal sebagai artificial intelligence (AI).
Kenyataan di atas yang sering dilupakan oleh seseorang dalam bekerja sekaligus oleh para praktisi SDM dalam menyelenggarakan tugasnya adalah bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar. Belajar bukan hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan (menjelaskan realitas) namun juga dalam membuat karya yang bermakna (menciptakan realitas).
Di titik ini, kenyataan tersebut menjadi signifikan. Revolusi industri 4.0 membuka tabir gelap praktik pengelolaan sumber daya manusia yang kerap terseret pada pencapaian superfisial, seperti misalnya hubungan industrial yang harmonis, pencapaian produktivitas, atau terpenuhinya jam pelatihan karyawan.
Kita seringkali lupa bahwa kesuksesan berdiri di atas proses belajar yang berkelanjutan. Bukan hanya sekedar pemenuhan prasyarat seperti praktik yang selama ini terjadi.
Dengan tidak mengurangi bobot tugas yang lain, tiga fokus tugas yang sering muncul dalam pengelolaan SDM adalah: [1] how to attract; [2] how to develop; & [3] how to recognize. Senyatanya, di dalam ketiganya terkandung intensi untuk mengabadikan berbagai macam prasyarat.
Dimulai dari syarat melamar pekerjaan (usia, jenjang pendidikan, pengalaman, kompetensi dan lainnya), syarat pengembangan (pelatihan skill teknis yang berkaitan dengan jabatan, lama menjabat, skor asesmen dan lainnya), sampai dengan syarat mendapatkan kompensasi (jabatan, skor kinerja, kompetensi yang berkembang dan lainnya).
Syarat-syarat tersebut sudah kita akrabi sejak waktu sekolah dulu. Mencapai nilai akademis tertentu agar dapat naik kelas. Mencapai nilai ujian akhir yang diharapkan agar dapat masuk sekolah atau perguruan tinggi yang diinginkan. Ini yang membuat kita tidak merasa prasyarat sebagai hal di luar kebiasaan.
Kita lupa syarat-syarat itulah yang kemudian merebut kemerdekaan kita sebagai manusia. Syarat-syarat itu yang membuat kita tidak adaptif terhadap perubahan, sulit bergerak ke arah dan pola yang berbeda, mencoba hal baru dan bahkan mengatakan tidak pada hal yang tidak kita inginkan.
Perubahan eksponensial yang terjadi di era 4.0 merangsang setiap orang memikirkan strategi-strategi baru. Meski berat layak diperjuangkan (seperti rindu). Mengutamakan perspektif “prasyarat” bukan hanya menghambat inovasi, tetapi juga meruntuhkan optimisme dan orientasi bertumbuh pada diri karyawan. Baik dalam bekerja maupun belajar. Karyawan boleh mengembangkan karier jika sudah 5 tahun mengabdi. Karyawan berkesempatan mengikuti sertifikasi jika skor penilaian kinerja tahunannya “A” berturut-turut dalam 2 tahun. Seperti halnya komedi, perjalanan ini hanya akan berakhir pada plot-twist yang tidak diduga-duga, hilangnya kesadaran sebagai manusia merdeka.
Sejatinya, kesiapan pekerja menghadapi berbagai tantangan kerja berbanding lurus dengan kesiapan belajar bidang-bidang baru di luar bidang keahliannya. Selain itu, kemampuan yang dikuasai pada masa lalu tidak selalu menjamin keberhasilan bekerja di masa mendatang.
Di sinilah perlunya perspektif “berkelanjutan”. Belajar dan bekerja adalah proses yang berkelanjutan dan tidak pernah berakhir. Talent attracting-developing-recognizing dapat menjadi satu proses yang berkelanjutan.
Menyeleksi pelamar tidak sekedar mencocokkan kompetensi individu dengan job specification yang tersedia. Alih-alih sekedar menjadi mesin poka yoke, rekruter dapat mulai membuka ruang diskusi mengenai rencana karier dan apa saja kesempatan pengembangan yang dapat diupayakan kedua belah pihak apabila berjodoh mengikat diri dalam hubungan kerja.
Jangan buang data tersebut. Apakah rencana itu akan seratus persen terlaksana, bisa jadi ya dan tidak. Poin utamanya ada pada komitmen masing-masing pihak untuk saling menjaga rencana-rencana yang disusun bersama. Bawa teknologi ke dalam proses ini.
Dalam proses pengembangan SDM, sejauh apa kita memberikan kemerdekaan bagi setiap karyawan merumuskan rencana pengembangannya, berpengaruh pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Sekali lagi, libatkan teknologi untuk membantu aktivitas ini.
Di akhir perjalanan karyawan, kita selalu dapat membuka kembali dan merefleksikan rencana karier yang telah disusun sebelumnya dan mempertimbangkannya kembali sebagai personalized recognition bagi karyawan ketimbang sekedar bagi-bagi “kue” yang kerap kali menjadi bahan “kasak-kusuk” di antara satu orang dengan lainnya. Di sinilah manusia diingatkan kembali akan fitrahnya. Makhluk merdeka, melebihi besi-besi mekanis maupun letupan-letupan elektrik di dalam komputer super canggih sekalipun,
Di masa revolusi industri yang tengah berlangsung, perspektif “berkelanjutan” ini membuat gerak perubahan organisasi semakin cepat. Dengan kecepatan yang sama karyawan pun ikut bergerak, karena karyawan bukan lagi penumpang yang sedang duduk di atas anjungan kapal perusahaan, mereka adalah pelayar yang siap menurunkan sekoci kapan saja jika sudah waktunya. Menuju kesejahteraannya. Menuju manusia seutuhnya.


Leave a comment