Banjir itu Bencana atau Wacana?

Jakarta banjir itu sudah biasa. Begitu pendapat salah satu penghuni rumah di bilangan kampung melayu pada tahun 2009 lampau. Pendapat ini saya dengar langsung setelah kami menanyakan kepada seorang bapak 3 anak, yang masih berkerabat langsung dengan orang tua saya, tentang banjir 2007 yang cukup garang melumpuhkan Jakarta. 

Rumahnya yang dua lantai habis menyisakan atap yang dipakai untuk mengevakuasi diri dan keluarga ke rumah tetangga yang berlantai tiga. Begitu dahsyat banjir menerjang kawasan padat huni, menyebelah kali Ciliwung tersebut. Tepat dua tahun sebelumnya saya menyaksikan laporan banjir 2007 diiringi musik syahdu nan melankolis a la Ebiet G. Berita kepada kawan, itulah judul lagu yang diputar berulang-ulang di media televisi. 

Suasana bencana begitu terasa mengisi sanubari ditambah kolase hitam putih yang memeras air mata. Tangisan pecah saat para reporter menggali cerita para penyintas bencana kala itu. Sebagian besar berteriak minta bantuan. Sebagian lain menangisi anggota keluarga yang tidak terselamatkan. Bagi saya yang masih tinggal di Surabaya kala itu, suasana haru-biru begitu membuncah di dada. Apalagi saya tahu ada sanak saudara yang terpapar langsung dampak bencana.

Pertama mengalami banjir besar di Jakarta, saat saya bekerja di bilangan Sunter pada 17 Januari 2013. Mirip dengan banjir di tahun 2007 yang membuat Jakarta lumpuh total. Bedanya, kali ini saya alami sendiri, Mulai dari terjebak berjam-jam di jalanan ibu kota, basah-basahan bersama ribuan warga jakarta, sampai mengalami kendaraan mogok secara massal. Bagaimana kabar keluarga di Kampung Melayu? Tentu saja, kebanjiran. Kembali lagi channel berita di televisi melantunkan lagu Kang Ebiet untuk kesekian kali. 

Kembali ke tahun 2020. Tepat di hari pertama tahun ini, banjir kembali menyapa. Bagai teman lama yang bersua kembali, hiruk-pikuknya membahana. Namun ada yang berbeda kali ini. Lagu melankolis itu tidak terdengar lagi. Terkubur ramainya media sosial yang mewartakan berita  bencana dengan multiangle yang mencampuradukkan emosi.

Banjir datang, rumah tenggelam, mobil hanyut, selebriti posting instagram, netizen salfok, ikan masuk rumah, korban banjir memancing ikan. Kurang ramai apa coba? Belum lagi residu politik pasca-pilgub DKI 2017 masih saja tercium. Wah, habis sudah ruang untuk meletakkan banjir sebagai sebuah bencana alam yang patut direnungkan bersama.

Menariknya, di tengah dunia yang sedang bertransformasi, pandangan setiap orang tentang banjir mengalami polarisasi besar-besaran. Banjir tetap menjadi bencana sesuai perangainya yang merusak. Namun, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda tentang banjir, dilihat dari konten yang diposting di akun media sosial mereka serta fokus dan intensitas perhatian terhadap konten-konten yang bertebaran di jagad maya.

Banjir mengada dalam wacana yang berbeda. Mulai dari analisa penyebab sampai pada tawaran solusi mencegah dan menanganinya. Fenomena ini memompa semangat positif atas perubahan. Di tengah ancaman perubahan iklim yang rentan bencana, masih banyak orang yang mampu berpikir positif. Alih-alih terjebak untuk mengeluh, orang-orang ini berinisiatif mengambil peran. 

Kondisi serupa muncul di dunia bisnis dan industri. Disrupsi sudah di depan mata. Siap mengganggu pupil dan retina kita. Sikap yang sama kita perlukan. Daripada mengutuki perubahan kebijakan yang tidak bisa kita kendalikan, mengambil peran dan berinovasi di tengah dunia yang terdisrup akan lebih bermakna positif bagi diri sendiri maupun sesama. 

Semangat tahun 2020 adalah semangat untuk terus bergerak dan berinovasi. Menjadi pilihan bagi semua orang, memandang suatu kondisi atau peristiwa merugikan atau menguntungkan baginya. Bagi orang yang memilih memandang tahun 2020 disambut oleh bencana, dia masih punya lebih dari 350 hari berikutnya untuk mencari pandangan yang lebih baik dalam mengisi tahun ini. Bagi orang yang sudah bersemangat memulai tahun baru ini, saya ucapkan selamat dan mengajak untuk bersama-sama membangun dan mempertahankan semangat positif ini sepanjang tahun. 

Mari kita tutup tulisan ini dengan mengutip sebuah paragraf dari salah satu film favorit saya berikut:

“Two little mice fell into a bucket of cream.  One mouse quickly gave up and drowned. The second mouse wouldn’t quit.  He struggled so hard that eventually he churned that cream into butter and crawled out.” – Frank Abagnale Sr. in “Catch me if you can”.

#SEMANGAT2020


Comments

Leave a comment