Dari Human Resource Menjadi Human Relation

Pandemi Covid-19 memporak-porandakan segenap sendi kehidupan. Tahun 2020 menjadi titik balik bagi sejumlah industri dan menjadi awal perubahan yang signifikan pada bidang-bidang di dalamnya. HR sebagai salah satu entitas di dalam perusahaan merasa perlu untuk menyesuaikan diri, meski ini sudah lama dirasakan bahkan sebelum pandemi terjadi. 

Adalah revolusi industri 4.0 yang membuat sejumlah praktisi, konsultan maupun ilmuwan manajemen SDM merumuskan ulang formula sukses dalam mengelola “aset perusahaan” yang satu ini, Manusia. Pada kenyataannya, apa yang dahulu dianggap aset sejatinya telah bermetamorfosis menjadi entitas merdeka. Setiap calon tenaga kerja punya lebih banyak pilihan pekerjaan. Bahkan dengan berbekal teknologi sederhana pun, pekerjaan dapat diciptakan secara mandiri. 

Dalam satu dekade terakhir sejumlah gerakan dan inisiatif berusaha mengembalikan unsur “Manusia” ke dalam Manajemen Sumber Daya Manusia. Terang saja, selama ini para praktisi HR kerap terjebak memperlakukan SDM sebagai kumpulan angka-angka yang disajikan ke atas meja manajemen puncak untuk mengambil keputusan. Pada titik tertentu, hal ini bukan sebuah kesalahan. Sebagian besar literatur dan praktik MSDM menganjurkan perilaku serupa.

Beberapa inisiatif perubahan mencoba untuk memperlunak kuasa manajerial menjadi lebih humanis. Ambil contoh dengan mengubah terminologi “performance review” menjadi “conversation”, atau juga membangun sistem umpan balik 360 derajat dimana dimungkinkan bawahan dan atasan saling memberikan penilaian. Lucy Adams (2017) dalam bukunya HR Disrupted: It’s time to something different, menyebutkan bahwa sudah banyak perusahaan mulai memberikan pro-social bonus ketimbang individual bonus. Menegaskan bahwa kinerja suatu perusahaan bukan ditentukan oleh satu orang “star” saja, melainkan melalui kolaborasi atau hubungan antar-manusia.

Dalam kesempatan lain, tidak ketinggalan inisiatif di area pemberian benefit perusahaan juga terjadi. Terminologi flexible benefit mulai diperkenalkan beberapa konsultan dan praktisi HR. Pemberian benefit menjadi terpersonalisasi dan terkustomisasi. Satu orang karyawan bisa jadi mendapat benefit yang berbeda dengan karyawan lain. 

Akan halnya dengan itu, guna menutup ulasannya, Lucy Adams sempat memberi peringatan bahwa perubahan-perubahan ini bukan tanpa kesulitan. Selama ini, HR meraih kesuksesan dengan menjadi strategic partner bagi pelaku bisnis inti. Terutamanya dalam menjaga tingkat keharmonisan, kinerja maupun produktivitas tenaga kerja. Asumsi yang biasa digunakan adalah manajemen mampu dan boleh mengelola manusia sebagai salah satu sumber daya dari sekian sumber daya yang dimiliki perusahaan.

Akibatnya sangat nyata, HR memandang tenaga kerja sebagai “Sumber Daya (resources)” belaka alih-alih mengelaborasi terminologi “Manusia (Human)” secara lebih seksama. SDM perlu dikontrol, SDM perlu dimotivasi, SDM perlu dikembangkan. Pola relasi yang terjalin antara pelaku bisnis dan tenaga kerja tak bisa dipungkiri bersifat Subjek-Objek. Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama dibuat, biarpun melalui musyawarah mufakat bersama karyawan, lebih menampilkan apa yang boleh dan tidak boleh perusahaan lakukan terhadap karyawannya. Kesepakatan (semu) ini seakan memberi pengharapan bahwa SDM adalah entitas yang setara di dalam organisasi. 

Pada hakikatnya, esensi menjadi manusia bukan hanya sekedar memberi suara dan membuat kesepakatan. Banyak aspek lain yang membuat manusia, menjadi manusia. Beberapa aspek bahkan tidak dapat disentuh oleh praktik manajemen SDM selama ini. 

Perbedaan antara satu individu dengan lainnya adalah sesuatu yang mutlak. Pandangan bahwa manusia dapat dikategorisasi ataupun diklasifikasi mengalami penyempitan makna, hanya dapat dilakukan pada situasi tertentu dengan lingkup terbatas. Selebihnya, personalisasi dan kustomisasi terjadi di berbagai bidang. 

Bagi HR, perbedaan individu menjadi aspek yang kerap kali dilupakan atau bahkan ditinggalkan. Begitu banyak kebijakan one fit for all dibuat oleh HR. Sistem HR yang mengagungkan efisiensi proses dan sumber daya menjadi primadona dalam setiap kompetisi internal dengan divisi lain di rapat tahunan pemegang saham.

Dengan memegang teguh prinsip seleksi alam, manajemen HR berharap bahwa hanya talent yang mampu (atau mau) berkompromi dengan segala prosedur sajalah yang akan bertahan di dalam organisasi. Dan selanjutnya kita dapat melabeli mereka “FIT” dengan organisasi. Kita lupa bahwa setiap orang memiliki aspirasi karier yang berbeda. Bisa jadi orang yang “fit”, ternyata memiliki impian yang tidak “fit” dengan apa yang ditawarkan oleh organisasi. Akibatnya, kita akan menjumpai lingkaran setan yang sama dengan sebelumnya, karyawan tidak “perform” dan berujung menjadi tidak “fit”.

Kita juga terkadang lupa bahwa organisasi dibentuk melalui hubungan antara anggota-anggotanya yang memiliki kesamaan visi dan misi. Relasi yang mutual akan membuat organisasi menjadi kuat. Namun dalam konteks manajemen HR, persoalannya tidak terletak pada apakah relasinya sudah mutual atau tidak. Relasi mutual hanyalah akibat dari kerangka besar sistem manajemen HR yang memandang manusia secara utuh. Bukan sekedar sebagai sumber daya.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana HR dapat membantu mewujudkan sistem ini. Jawaban singkatnya adalah dengan memberi perhatian lebih pada aspek hubungan antar-manusia. 

Dalam tataran teknis bisa jadi hal ini dapat kita mulai dengan memberikan kelonggaran terhadap beberapa kebijakan yang jika kita pikir ulang, lebih condong bersifat “membatasi/memaksa” ketimbang “memotivasi”. Ambil contoh kebijakan memberikan pelatihan kepada karyawan. Coba kita pikir ulang, apakah dengan adanya kebijakan ini, karyawan merasa termotivasi untuk belajar atau justru terpaksa belajar. 

Sebagai penutup tulisan, saya memberikan tawaran untuk membuat sedikit perubahan kepada kolega HR saya, bagaimana kalau mulai saat ini kita ubah penjelasan singkatan HR, dari Human Resource menjadi Human Relation.


Comments

Leave a comment