Stop Recruit! Start Campaign!

Sebenarnya saya tidak ingin menambahi pesan ini dengan artikel yang terlalu rumit, sehingga malah kehilangan makna pesan itu sendiri. Namun setelah mendengar sebuah talk show menarik tentang bagaimana dua HR Director di dua perusahaan teknologi kecil menengah berstrategi mendapatkan best talent, di bawah bayang-bayang perusahaan teknologi raksasa di Amerika sana, rasa hati ingin berbagi sedikit strategi menggaet best talent, terutama millennial talent.

Terus terang, di bawah ini merupakan tukilan dari salah satu bab e-book Mitos Millennial yang saya sebarkan beberapa waktu lalu. Namun, semakin saya mendengar banyak sekali praktik baik kegiatan akuisisi talenta di berbagai industri, maka menurut saya, bab ini semakin relevan untuk dibagikan. Nah, silahkan berselancar!

Lika-liku rekrutmen di era-millennial

Salah satu fenomena yang menarik di era kekinian adalah munculnya berbagai sub-bidang baru di ranah SDM yang memiliki fungsi spesifik terkait pemenuhan sumber daya manusia. Menyediakan sumber daya manusia merupakan salah satu tugas utama yang dibebankan kepada para punggawa HR/HC di perusahaan.

Dewasa ini muncul dua profesi unik terkait fungsi tugas di atas, yakni talent acquisition officer dan employer branding officer. Menariknya, kedua profesi ini merupakan tim yang sangat efektif jika dapat bekerja sama. Ibarat di dalam memancing, keduanya masuk dalam proses mengumpan. Yang satu bertugas melakukan mapping lokasi basis ikan berada serta mengarahkan umpan ke dalamnya. Yang lain bertugas menyediakan godaan yang tak terelakkan bagi calon-calon target akuisisi.

Di era-millennial “sang akuisisian” dan “sang branditor” mesti cakap dan peka terhadap teknologi. Menyebar umpan kepada millennial butuh strategi yang luwes sekaligus penetratif. Millennial memiliki posisi tawar yang tidak dimiliki generasi sebelumnya, pilihan. Bukan berarti generasi sebelumnya tidak punya pilihan (meskipun kita sering mendengar pada dua dekade silam, para job-seeker memiliki tekad “yang penting kerja”). Pilihan yang dimiliki millennial selain lebih banyak, juga memiliki pagar yang sulit ditembus. Mereka biasa sebut itu “passion”.

Mari sedikit bicara tentang passion. Sebagian orang mendefinisikan dengan benar arti passion dan berjalan dengan penuh harga diri menjemput passion. Sebagian yang lain memiliki imej tersamar tentang passion. Sebagian lagi masih bimbang apakah passion adalah sebuah tren atau sekedar gejala delusional. Persamaan ketiganya adalah, passion menjadi pertimbangan saat memutuskan dan menjalani karir mereka.

Seorang pencari bakat yang hebat mampu memainkan perannya sebagai pemasar profesi sekaligus motivator kepada para newbie dalam mengejar passion mereka. Dalam konteks industri, inisiasi yang dimainkan adalah sebagai berikut:

1. Mendesain ruang tamu yang nyaman

Pekerjaan ini membutuhkan kerjasama seluruh bagian di dalam organisasi atau perusahaan. Pekerjaan ini tidak seperti para marketing communicator yang membuat taman indah di depan rumah. Mereka hanya mengharap orang-orang menengok demi mengagumi taman itu. Mendesain ruang tamu bertujuan memastikan orang yang masuk ke dalam rumah akan merasa betah dan nyaman.

Employer branding, demikian pekerjaan ini dipopulerkan. Proses branding perusahaan sebagai tempat kerja berbeda dengan penyedia barang atau jasa. Pembuktian kehandalan perusahaan dalam mencipta loyalitas menjadi betul-betul rapuh apabila anggota organisasi tidak sejalan dengan perusahaan. Karena dari ruang tamu, seseorang begitu mudah melihat bagian dalam rumah, program employer branding harus fokus dalam pembenahan internal organisasi.

Ini menjadi tugas para pengumpan? Tidak. Namun pengumpang berhak mendorong organisasi, dalam  ini pimpinan perusahaan, untuk dapat merevolusi budaya kerja demi mengejarkan predikat “tempat kerja paling keren”.

2. Menjadi kawan bagi semua orang

Kandidat terbaik terkadang dapat muncul dari mana saja, dari lorong gelap jalanan sampai dengan gedung perkantoran modern. Membangun partnership dengan kandidat (pelamar) tentu meruntuhkan citra rekruter di era sebelumnya; profesional, dingin, berkuasa. Orang dengan imej seperti itu akan menjadi orang terakhir yang ingin ditemui millennial dalam proses rekrutmen. Daripada berjudi dengan hal ini, mengubah wajah rekrutmen menjadi lebih friendly tidak akan mengurangi kuasa perusahaan dalam melakukan seleksi karyawan.

Bahkan sedikit membuka sisi gelap perusahaan dengan cara yang menyenangkan melalui recruiter dapat membantu memastikan bahwa orang yang kita rekrut bukan sekedar orang yang butuh pekerjaan ataupun orang pasrah. Orang yang kita rekrut sudah siap dan memiliki pertimbangan penuh dalam mengambil tawaran pekerjaan yang diberikan. Sesulit apapun tantangan yang menyertai.

Dalam khasanah rekrutmen mutakhir, seorang rekruter memiliki nama baru, yakni talent acquisition partner. Bayangkan! Seorang partner! Bukan agen, bukan saringan, bukan tembok yang mustahil ditembus. Tetapi Partner. Pasti terbayang bagaimana sosok recruiter di era baru ini. Saya curiga nama baru ini juga mendorong para recruiter menjalankan fungsi sebagai career-advisor bagi para kandidat mereka. Who knows?! Yang saya tahu apabila kecurigaan saya benar, maka itu adalah berkah bagi para millennial, terutama bagi mereka dengan gejala galau tingkat akut.

3. Notice & being noticed

Di masa ini, informasi bak pasir di pantai. Menyelimuti hampir seluruh permukaan dunia. Membangun jejaring dengan para millennial adalah memastikan bangunan pasir yang kita bentuk tidak tertiup angin atau tertutup buih air laut yang sesekali mampir. Sekali bentukan itu runtuh ataupun tergerus, kita harus memulai dari awal.

Membuat dokumentasi talent menjadi proyek maha-penting bagi para rekruter di era-millennial. Betapa tidak, bisa jadi talent yang anda incar sebelumnya kini telah berlabuh di perusahaan lain. Kemampuan rekruter avant-garde bukan hanya mengidentifikasi talent, melainkan juga memonitor sepak-terjang sang talent dan updating their CVs tanpa diketahui oleh pemilik CV itu sendiri. Seorang rekruter yang baik memiliki bank of talents yang siap ditarik kapanpun ia butuhkan.

Proyek lain yang juga tidak kalah penting, adalah memastikan bahwa kita (dalam bentuk yang sangat jamak) juga mendapat perhatian dari talent kita. Jika perusahaan kita “punya nama”, jangan biarkan mereka silau dengan “nama” kita, dan pada akhirnya menyesal setelah mendapati di balik nama yang menyilaukan, bersemayam proses rekrutmen a la zaman batu. Rekruter para millennial tidak “bersembunyi di semak sembari menunggu pelanggar lalu-lintas”, melainkan menampilkan diri secara terbuka di muka publik. Kartu namanya tercetak 2 kali lipat lebih banyak daripada salesperson di perusahaan yang sama.

Rekrtuer era-baru mencairkan kebekuan hubungan antara applicant dan employer. Rekruter millennial berada dalam frekuensi gelombang yang sama dengan millennial. Mereka makan seperti millennial, bekerja seperti millennial dan beristirahat seperti millennial. Mereka akan membicarakan karir bersama millennial dan memberi saran serta rekomendasi layaknya seorang teman.

4. Upbeat and modern hiring tools

Email, SMS dan telepon sudah menjadi barang kuno. Dengan segera millennial mengenali jenis perusahaan seperti apa yang menghubungi mereka. Saya pernah mendapati dari 10 orang yang saya panggil untuk proses interview melalui telepon, 4 orang datang. Sisanya no show dan/atau meminta reschedule. Pada waktu dan posisi yang sama, dari 10 orang yang saya hubungi melalui pesan Whatsapp, hanya 1 orang yang tidak hadir. Dan ini nyata saudara-saudara!

Pendekatan personal menggunakan teknologi kekinian menarik minat millennial daripada teknologi satu dekade silam. Saya sendiri mendapati undangan wawancara kerja via skype lebih membuat penasaran ketimbang face-to-face. Bukan sekedar menghemat waktu, melainkan imej yang ditampilkan oleh perusahaan seakan memberi ruang kepada perkembangan teknologi. Apa yang terbayang dari proses itu adalah sebuah lingkungan kerja yang dinamis dan sangat high-tech meskipun sekedar perusahaan penyedia gudang logistik misalnya.

Modernisasi proses rekrutmen tidak berhenti pada improving the media saja, tapi juga pada metode sourcing sampai dengan seleksi. Setelah memahami karakteristik utama millennial setidaknya kita dapat memprediksi kecenderungan mereka dalam memilih tempat kerja. Metode dalam merekrut menjadi salah satu pertimbangan.

Saat ini makin banyak medium tersedia untuk menjaring calon tenaga kerja. Etalase pekerjaan yang ribuan jumlahnya berebut perhatian calon tenaga kerja. Memanfaatkan metode etalase memang membutuhkan lebih sedikit waktu dan upaya untuk menghimpun sebanyak-banyaknya kandidat untuk diseleksi. Kelemahannya terletak pada masih panjangnya proses rekrutmen yang harus dijalani. Rekruter masih harus mensortir lamaran, melakukan interview awal, psikotes, user interview dan sebagainya.

Berapa perusahaan memangkas proses panjang ini dengan menempatkan proses seleksi di depan. Lowongan dikeluarkan dalam segmentasi yang tepat. Target kerja dan cara kerja di-highlight besar-besar. Sebelum pelamar sempat memasukkan CV mereka, sebuah tes kompetensi khusus harus berhasil dilewati. Mulai dari bahasa, skill teknis maupun soft-skills.

Dan menariknya, metode ini menjawab tiga kebutuhan millennial dalam memilih pekerjaan, yakni: kepercayaan diri menghadapi tantangan, ikatan alami dengan perusahaan dan pengalaman melamar yang berbeda dengan sebelumnya.


Comments

Leave a comment