HR itu menangani “Human”. Benarkah?

Membaca perkembangan dunia HR memang menarik. Saya teringat 15 tahun yang lalu melihat lowongan pekerjaan di area HR didominasi oleh recruitment staff, training staff dan industrial relation staff. Ketiganya bak primadona bagi jobseeker dengan latar pendidikan terkait. Daftar itu diikuti dengan payroll staff dan personalia. Tidak sampai 1 dekade, dunia sumber daya manusia (khususnya di Indonesia) didera terminologi-terminologi baru di bidang-bidang yang lebih spesifik. Dengan dukungan dari buku-buku ke-HRD-an karya Dave Ulrich, dkk., maupun konsultan-konsultan SDM yang mulai menjamur, ber-metamorfosis-lah HR menjadi perangkat manajemen yang canggih dan aduhai.

Satu hal yang paling sering saya temui dari praktik-praktik ke-HRD-an di Indonesia pada masa-masa itu adalah pergeseran dari perspektif peran HR sebagai perangkat organisasi dan manajemen ke arah yang lebih humanis. Praktik-praktik baik HR yang memanusiakan menjadi “benchmark” yang banyak dicari dan diduplikasi. Mulai dari perlunya “engagement” karyawan menggantikan terminologi lama (kepuasan) sampai dengan “experience” karyawan yang mulai digadang-gadang menjadi buah bibir peradaban di ranah HR.

Meski secara ontologis, istilah-istilah tersebut sebenarnya sudah puluhan tahun berkelana di ranah studi manajemen SDM, tetapi sepertinya di penghujung masa akhir revolusi industri 3.0 dan bermulanya masa awal revolusi industri 4.0, teori-teori itu mulai diperagakan. Sedikit menganalisis, tampaknya ada 3 hal utama yang mendorong pergeseran perspektif ini terjadi, meskipun masih saja ada praktik-praktik HR di era sebelumnya dijalankan oleh beberapa organisasi.

Hal pertama adalah perubahan komposisi generasi tenaga kerja. Masih segar di ingatan saya ketika teman-teman praktisi HR mulai kelabakan menerima komplain dari kolega senior mereka tentang tenaga kerja baru yang memiliki attitude-set yang berbeda dari sebelumnya. Sekumpulan anak-anak muda ini tiba-tiba masuk ke dalam organisasi “tanpa permisi” menggedor-gedor batas senioritas dan meniupkan semangat baru. Semangat berbasis passion dan growth.

Semangat baru itu membunuh orang-orang dengan mindset lama. Orang-orang yang masih memegang moto “hidup adalah perjuangan” akan termakan oleh motonya sendiri. Tergilas bayang ambisi dari passion dan tersalip kilat cepat growth yang dibawa angkatan muda ini. Anak-anak muda (eh, atau berjiwa muda) ini seakan tidak peduli dengan senioritas ataupun lintasan hierarkis yang dibangun angkatan sebelumnya. Dalam bekerja, yang dibutuhkan mereka adalah informasi tentang apa tujuan yang ingin dicapai dan bagaimana mencapainya. Tahi kucing itu semua prosedur standar dan juklak/juknis yang kaku.

Sementara para manajer lini senior masih pusing memikirkan “kekurangajaran” yang terjadi di depan mata, sang manajer HR berjibaku menyusun aturan baru dan meng-update sistem HR-nya yang mulai terlihat usang. Dimasukkanlah teori-teori revolusioner tentang sumber daya MANUSIA ke ruang kerjanya. Ambil contoh tentang rekognisi karyawan, angkatan kerja baru tidak dapat “dijinakkan” dengan rekognisi semu seperti employee of the month ataupun lifetime service award. Bentuk kompensasi yang tergamifikasi (gamified) akan lebih dapat diterima. Bagi manajer HR dengan mindset lama, boro-boro dapat mengembangkan sistemnya, memahami alasannya saja sudah susah.

Hal kedua yang mendorong pergeseran perspektif HR di satu dekade terakhir adalah pertumbuhan teknologi informasi yang ajegile. Dalam 10 tahun terakhir kita sudah mengalami perubahan dari computer-based working, menuju internet-based working, menuju mobile-based working. Dari microsoft office, menuju google drive, menuju apapun aplikasi yang ditawarkan di apple store dan playstore. Dari sisi perekrutan di HR, kita pun melihat adanya revolusi proses menerima lamaran dari amplop, menjadi email attachment, menjadi pesan whatsapp.

Dengan kecepatan seperti itu, tiada lain langkah revolusioner wajib diambil oleh para praktisi HR. Jam kerja, lokasi kerja ataupun cara kerja lama sudah harus masuk tempat sampah dengan segera. Konsep well-being, employee wellness, mental health awareness menjadi mengemuka, mengangkangi seluruh isu ke-hrd-an.

Hal terakhir yang menjadi bahasan awal ini adalah peningkatan bidang kerja yang membutuhkan “otak” ketimbang “otot”. Bidang kerja yang membutuhkan knowledge worker (begitu mereka menyebutnya) untuk mengampunya. Fenomena ini sudah ditangkap jauh sebelumnya di negeri paman Sam. Namun, di Indonesia, kita baru menemukan bukti nyatanya baru-baru ini.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, jumlah pekerja yang mengampu jenjang pendidikan tinggi di tahun 2020, sebesar 12.27% dari total seluruh tenaga kerja. Angka ini dua kali lipat lebih besar dibandingkan angka di tahun 2006 yang hanya 6.19% saja. Informasi ini juga diperkuat oleh data terakhir yang dikumpulkan Jobstreet.com pada halaman Law of Attraction di website mereka, yang menunjukkan bahwa jumlah pelamar dengan ijazah S1 sebesar 62.1% dari total populasi.

Dari kedua rujukan data di atas, ini artinya para praktisi HR akan lebih sering bertemu dengan para knowledge worker dari sebelumnya. Tentu masih saja ada industri padat karya yang memiliki prosentase lebih kecil. Namun, tidak dapat dipungkiri, dengan bertambahnya knowledge worker artinya kebijakan-kebijakan yang dibuat dan dijalankan secara mekanis jadi hilang nyawanya.

Selalu ada saja karyawan yang bersuara kebijakan ini/itu tidak adil dan menyuarakannya kepada manajemen. Bedanya kali ini, mereka akan datang dengan setumpuk data dan hasil kajian yang masif, terstruktur dan sistematis. Bukan dengan teriakan-teriakan histeris dan raungan motor “Ninja” di depan gerbang kantor. Para pekerja ini mendefinisikan ulang kata MOGOK KERJA. Tuntutan yang dikeluhkan juga bukan lagi semata kenaikan upah atau jabatan. Alih-alih soal itu, mereka akan menuntut agar dipandang setara sebagai sesama manusia, yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Semakin pusinglah sang manajer HR mengakomodasi tuntutan macam ini. hihi..

Agaknya, ketiga hal di atas bukan hanya milik HR saja. Bidang-bidang lain pasti juga terimbas dengan perubahan-perubahan tersebut, dan mungkin sekali membuat semua pihak berpikir ulang tentang cara kerja yang selama ini dilakukan. Sialnya, hanya HR yang menjadikan “human” sebagai topik utama pekerjaannya. Jadi gagasan tentang membangun cara kerja yang manusiawi, memang pantas diharapkan mulai dari sana. Bravo HR! Selamat dan sukses selalu untukmu!


Comments

Leave a comment