Sudah Saatnyakah Kita Men-disrupsi HR?

Membaca buku Disruptive HR karya Lucy Adam sungguh membuat dada bergelombang. Betapa tidak, dari judulnya saja kita dipaksa untuk menebak-nebak hal ihwal apakah yang akan terjelaskan dari penggabungan dua frasa itu.

Bayangan pertama adalah munculnya inovasi-inovasi baru yang akan menggantikan peran HR di organisasi. Seharusnya bayangan ini masuk akal jika merujuk pada perkembangan teknologi yang mendorong otomatisasi di segala bidang. Apalagi bagi kebanyakan organisasi, SDM kerap menjadi variabel biaya terbesar yang dicetak di dalam anggaran tahunan. Di sisi lain, HR mengemban suatu misi untuk mengelola satu entitas yang tidak pernah berhenti berubah; Manusia!

Selama beberapa dekade, perkembangan keilmuan di dunia HR bersandar pada bidang ilmu manajemen alih-alih ilmu humaniora. Kecenderungan ini memang besar, mengingat HR terlahir dari akar bidang manajemen bisnis dan industri yang kuat. Bahkan menurut sejarahnya, kebutuhan melangsungkan bisnis dan industri dengan lancar menjadi satu-satunya alasan mengapa di setiap perusahaan dibutuhkan setidaknya seorang manajer HR. Sebagaimana seorang akuntan menjaga neraca pembukuan, manajer HR menjadi neraca keharmonisan tenaga kerja.

Tidak jauh berbeda dengan akuntan, selama ini manajer HR dituntut agar departemen yang dikelolanya berhasil memberikan manfaat besar bagi kelangsungan bisnis di suatu organisasi. Kesejahteraan karyawan merupakan kata kunci yang sering dihembuskan sebagai bagian dari keberhasilan itu, demi menjaga neraca keharmonisan tenaga kerja. Meskipun dalam sejarahnya, kata kunci itu terpilih sebagai kata penghalus dari dinamika perlindungan pekerja.

Selama bertahun-tahun kesejahteraan karyawan menjadi indikator keberhasilan departemen HR dari perspektif karyawan. Di ruangan lain, manajer HR setengah mati membuktikan kepada pemilik perusahaan bahwa keharmonisan yang terjaga membawa produktivitas yang diinginkan. Inilah jebakan betmen yang tersebar di bawah lanskap kesejahteraan karyawan.

Akibat dari konsepsi tersebut, HR menjelma menjadi sosok yang rigid, terstruktur, patuh pada SOP, sekaligus kontradiktif. HR seakan mengelola manusia tetapi terperangkap dalam praktik mekanis sebagaimana mengelola aset dan pembukuan. HR tidak dapat bergerak lebih jauh selain menjadi pengayom sekaligus polisi bagi karyawan, atau menjadi pembuat kebijakan sekaligus pemberi hukuman, atau juga menjadi penyedia data statistik ketenagakerjaan bagi organisasi. Habis sudah energi untuk dicurahkan.

Dunia sudah berubah dan sebagian besar orang telah sadar perubahan itu cepat dan nyata. Teknologi mengubah cara kerja, generasi kerja baru memperbarui pola interaksi antar sesama, kompetitor bisnis berasal dari sudut area yang tidak disangka-sangka, struktur organisasi bak tertulis di atas pasir, isu kesehatan mental menggedor ruang kerja demikian kencang. Situasi ini adalah situasi paling chaotic bagi keberlangsungan manajemen sumber daya manusia.

Jadi apa yang bisa kita lakukan sekarang?

Lucy Adams memiliki pemikiran yang patut diperhitungkan untuk dekade ini dan mungkin 2-3 dekade berikutnya. Dalam bukunya, HR disrupted, Adams memperkenalkan konsep EACH, sebuah konsep yang jika kita sudah membacanya tuntas, seakan mengingatkan kita bahwa kehadiran departemen HR (sumber daya manusia) saat ini hanya sebatas fungsi taktis manajemen bisnis yang tidak pernah menyentuh relasi kemanusiaan di segala lini.

Sudah tepat jika Adams membidiknya mulai dari mindset yang salah, sebelum lebih detail dia jelaskan praktik-praktik utama ke-HRD-an di dalam bukunya. Adams membuka tawaran profesionalnya kepada para praktisi SDM dengan mengajak mereka semua menggunakan kerangka pikir EACH (Employee as Adult, Employee as Customer dan Employee as Human). Penjabaran di masing-masing kerangka pikir, akan memperlihatkan kepada kita semua bagaimana arsitektur sistem ke-HRD-an yang berlaku selama ini penuh dengan kegamangan.

Kita kerap gamang apakah benar selama ini kita sedang bekerja bersama orang dewasa (adults) dan bukan dengan anak-anak yang membutuhkan aturan yang cenderung kaku dan seragam. Kita juga selalu merasa tidak yakin apakah karyawan juga sebagai pelanggan (customer) yang butuh didengar keinginan dan aspirasinya, ketimbang sekedar memenuhi kesepakatan mengenai hak dan kewajiban yang tertulis di kontrak kerja. Bahkan kita juga sering berspekulasi benarkah SDM yang kita kelola adalah sekumpulan manusia (Human) yang memiliki persoalan yang jauh lebih kompleks ketimbang sekedar mengikuti standard operating procedure.

Menggunakan kerangka pikir EACH, Adams mengajak para praktisi SDM mendekonstruksi mindset lamanya. Meskipun pada titik ini, Adams belum menawarkan suatu sistem komprehensif yang dapat mengakomodir dan menyelaraskan seluruh sistem manajemen lintas lini. Akan tetapi, inilah cikal bakal perubahan pada praktik-praktik pengelolaan SDM yang lebih berimbang.

Praktisi HR kerap mengatakan bahwa dirinya berada di dua sisi. Satu kaki ada di sisi perusahaan (pengusaha), satu kaki yang lain ada di sisi karyawan. Lupakan itu, jika kita masih menganggap karyawan kita bukan orang dewasa, pelanggan ataupun manusia. Perubahan pemahaman mendasar ini, akan membuka kesempatan bagi semua pihak untuk memulai diskusi dan memperbincangkan strategi perubahan apa yang paling sesuai diterapkan dalam konteks bisnis dan organisasi terkini.

Adams dalam bukunya, memang menitikberatkan pada perlunya melakukan dekonstruksi terhadap 3 pemahaman dasar pengelolaan SDM di dalam organisasi. Pertama, bahwa karyawan bukan anak kecil yang baru belajar tentang aturan benar-salah. Sudah waktunya perusahaan atau organisasi memberikan ruang yang lebar bagi karyawan untuk berekspresi dan berkreasi selama masih memiliki visi yang sama. Ketakutan terbesar atas inisiatif baru ini adalah kegagalan. Seakan organisasi tidak memiliki kepercayaan bahwa karyawannya dapat berhasil tanpa ada panduan yang jelas, ukuran benar-salah yang rigid ataupun metode reward-punishment yang baku atas apapun yang dilakukan dan dihasilkan. Bagi Lucy Adams, kepercayaan terhadap kedewasaan karyawan adalah hal pertama yang perlu ditempatkan.

When we trust our employees, they’re more likely to behave responsibly and be productive, creative, and forward-thinking” – Lucy Adams

Pemahaman kedua yang layak dibongkar adalah keyakinan bahwa setiap karyawan memiliki kebutuhan yang sama. Sebagai orang yang memiliki kontrak kerja dengan suatu organisasi, karyawan bisa jadi memang harus mengikuti seluruh kesepakatan yang tertera di dalam kontrak. Kesepakatan ini (sayangnya) juga mengatur tentang apa yang bisa didapat atau dilakukan dan apa yang tidak bisa didapat atau dilakukan di dalam organisasi. Satu PP (Peraturan Perusahaan) untuk semua. Satu PKB (Perjanjian Kerja Bersama) untuk semua. Satu SOP untuk semua. Di sini tersebar jebakannya.

Atas nama SOP dan peraturan, setiap orang dianggap memiliki kebutuhan, keresahan, impian, dan aspirasi yang seragam. Naik gaji dianggap satu-satunya motivasi bekerja bagi semua. Fasilitas olah raga, makan gratis, dan liburan menjadi primadona saat bicara tentang benefit non-finansial untuk semua. Menjadi direktur adalah puncak karier bagi semua orang. Pemahaman inilah yang menjebak dan berusaha dibongkar oleh Adams.

Pada kenyataannya kebutuhan setiap orang berbeda, dan satu-satunya organisasi yang sudah mampu mengenali serta mengelola kenyataan ini adalah unit Customer Service. Personalisasi adalah kata kuncinya. Sama-sama membeli produk yang sama, belum tentu kebutuhannya dan aspirasinya sama. Melalui mendengarkan keluhan pelanggan secara terus-menerus unit kerja ini mendapatkan pencerahan bahwa setiap pelanggan harus diperlakukan secara berbeda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Konsep ini juga yang ditawarkan oleh Lucy Adams mengenai pengelolaan SDM di organisasi. Saat ini, bentuk konkret dari pandangan ini masih terbatas pada fleksibilitas atas benefit non-finansial dan terbukanya opsi pelatihan di luar kebutuhan jabatan. Layanan HR lainnya masih penuh tantangan.

Pemahaman ketiga (terakhir) yang perlu didekonstruksi menurut Lucy Adams adalah bahwa karyawan merupakan aset perusahaan yang harus dikelola seperti halnya aset-aset lainnya. Pemahaman ini selain bersifat tidak berkeprimanusiaan juga destruktif. Tidak dapat dihindari, selayaknya aset maka dengan perlakuan seperti ini, karyawan juga akan mengalami “penyusutan” baik dari segi produktivitas maupun motivasi kerja. Perubahan atas pemahaman ini juga sama menantangnya dengan kedua pemahaman sebelumnya. Manajer HR akan dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan leader dan ekosistem kerja yang “memanusiakan”.

Tomorrow’s leaders will need to become more resilient, engaged, curious, insightful and humble.” – Lucy Adams

Ketiga gagasan perubahan di atas meskipun belum semua tereksekusi di lapangan, tetap akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perspektif setiap orang tentang hubungan karyawan dengan perusahaan dan tentang bagaimana fungsi HR dijalankan ke depannya. Tentu saja, pandangan ini tetap harus dihadapkan pada kaidah-kaidah pengelolaan SDM konvensional, bukan saja dalam aspek keilmuan tetapi juga implementasinya. Jadi, sudah saatnyakah kita men-disrupsi HR?


Comments

Leave a comment