Mengapa Career Management di Perusahaan Gagal?

Apa rasanya ketika kita sudah berikan segenap usaha kita atas satu rencana, hanya untuk mengetahui bahwa tiada apa-apa di ujung sana?

Itulah yang saya rasakan hampir sepuluh tahun yang lalu saat mengelola program career management di suatu perusahaan. Kala itu, secara sistem manajerial kami cukup matang, dengan dibuktikan oleh beberapa sertifikasi standar mutu internasional yang kami dapatkan bertahun-tahun. Salah satu standar pengembangan SDM adalah pengembangan karier. Saya berkesempatan mendapat tanggung jawab untuk mengelolanya.

Sebagaimana tertera dalam dokumen standar manajemen mutu, saya persiapkan sistem dan perangkat manajemen yang sesuai untuk menjalankan program ini. Kami memiliki struktur career path yang lengkap untuk setiap jalur karier. Saya juga memastikan bahwa masing-masing jalur karier memiliki kemungkinan untuk bersinggungan sehingga dimungkinkan bagi para pelaku karier (karyawan) beralih karier sesuai minat dan aspirasi karier masing-masing. Sebagai perangkat pengembangan karier saya siapkan sistem perencanaan karier, mulai dari form IDP (individual development plan) & ICP (individual career plan), sampai dengan form C&C (coaching & counseling) untuk para leaders (supervisor).

Target yang diberikan pada waktu itu adalah proses pengembangan berjalan dengan indikator keberhasilan terisinya tabel HAV (human asset value) dan RTC (replacement table chart). Tentu saja berbekal perlengkapan manajemen yang avant garde seperti itu, saya yakin menjalankan program career management hanyalah masalah konsistensi dan kedisiplinan menjalankan proses demi proses. Benarkah?

Benturan awal saya temui dari beberapa orang yang kami identifikasi sebagai star talent perusahaan. Dalam satu perbincangan, mereka yang berprofesi sebagai sales person menyatakan tidak mau menaiki tangga struktur organisasi. Mereka mengaku telah menemukan aspirasi kariernya, yakni sebagai tenaga penjual yang setiap bulan berkesempatan mendapat komisi besar sebagai hasil memeras keringat yang nyata. Saat saya tantang apakah dia mau menjadi selamanya salesperson, mereka mengangguk dengan tegas, dan itulah yang tertulis dalam form ICP mereka.

Di sisi lain, para leader melihat potensi yang besar dari para star talent ini. Mereka yakin bahwa para star ini berpotensi menduduki jabatan manajerial dan sukses. Pada saat itu, intervensi yang kami berikan adalah memfokuskan sesi coaching & counseling pada area ini. Beberapa leaders sepakat untuk mengajak para star ini “ngobrol“, begitu bahasa mereka. Intervensi ini cukup efektif.

Lebih dari setengah dari para star yang gelisah ini berhasil kami kembalikan ke jalur kariernya. Para leaders sedikit dapat bernafas lega. Pasalnya, perusahaan juga mentarget setiap leader untuk punya setidaknya satu calon suksesor dengan tingkat readiness R1 (di bawah 1 tahun) di setiap tahunnya. Saya ikut bersyukur dan terus menjalankan inisiasi pengembangan karier selanjutnya.

Benturan kedua datang dari salah seorang pimpinan departemen yang tidak setuju anggota timnya mengisi tabel suksesor untuk departemen lain. Alasanya adalah orang itu sudah beliau bina sejak lama dan sedang dipersiapkan untuk dijadikan sebagai pengganti dirinya. Saya ekskalasikan keberatan itu kepada atasan dan bahkan dibawa ke dalam pembahasan di tingkat direksi. Terjadilah pertemuan itu, yang lebih menitikberatkan pada upaya direksi mengedukasi pimpinan departemen terkait atas maksud dan tujuan program pengelolaan karier ini.

Setidaknya sudah dua tantangan saya lewati dalam mengusung program yang ternyata sangat strategis ini. Alasan saya menyimpulkan ini adalah bahwa perhatian manajemen di setiap tingkat begitu besar atas inisiatif ini. Kenyataan ini membesarkan hati saya untuk terus berjuang menjalankan siklus program ini sampai tuntas.

Namun, kebesaran hati itu sekali lagi diuji. Salah satu star talent yang memang sudah dibina sejak awal, mengundurkan diri. Saya mencium adanya talent war saat mengetahui berita itu. Benar juga, talent itu di-hijack oleh kompetitor dan kita tidak bisa tidak menahan lebih lama lagi. Ini merupakan pukulan telak bagi program pengelolaan karier. Pasalnya, orang ini adalah salah satu showcase atas keberhasilan inisiatif career management di organisasi. Mau tidak mau saya juga menyalahkan program talent retention yang boleh dibilang belum mendekati tingkat kesuksesan yang diinginkan.

Sebuah pelajaran yang mahal harganya. Saya mulai membayangkan apa saja kesalahan-kesalahan yang sudah saya buat dan bagaimana memperbaikinya. Terus terang tidak banyak yang saya dapatkan dari refleksi perbaikan dari proses yang sebelumnya dilakukan. Ini bukan masalah sistem, bukan pula masalah tool atau prosesnya.

Bertahun-tahun saya mencoba menyelami makna career management sembari melakukan eksperimentasi atas karier saya pribadi. Tidak lupa saya melakukan studi literatur untuk memahami fenomena ini di dunia kerja. Saya mencoba mencari jawaban dari berbagai hasil penelitian dari beragam peneliti maupun konsultan manajemen SDM.

Begitu banyak penelitian menjelaskan tentang karyawan mengundurkan diri. Saya perlu mempersempit area pencarian saya pada kelompok komunitas pekerja yang setidaknya sudah melalui masa kritis bekerja (setidaknya di atas 3-5 tahun). Artinya, Saya tidak akan menghabiskan waktu untuk mencari tahu apa alasan karyawan baru mengundurkan diri.

Satu temuan menarik perhatian saya. Di tahun 2019, nbcnews.com melaporkan bahwa sebesar 70% CEO mengundurkan diri dengan sukarela (voluntarily), sementara 30% dari CEO dipecat dari jabatannya (involuntarily). Adapun perbandingan ini di level manajer lini adalah sebesar 68% yang voluntarily berbanding 32% yang involuntarily. Fakta ini cukup menunjukkan bahwa di tingkat middle-management pun seorang talent dengan mudah mencampakkan perusahaannya dan memilih tempat berkarier yang lain.

Menjadi tidak masuk akal jika upaya manajemen karier bertujuan sebagai metode retensi karyawan. Justru jangan-jangan pemahaman karier yang matang membuat seorang karyawan memikirkan karier yang lebih besar dan tidak akan didapatkannya jika hanya menjadi pegawai. Bisa jadi.

Dalam laporan bertajuk “Retention Report” yang dikeluarkan oleh Workinstitute (salah satu konsultan dan lembaga riset ketenagakerjaan) selama 5 tahun dari tahun 2017-2021 berturut-turut alasan terbanyak karyawan keluar (resign) dari kerja adalah pengembangan karier. Apa?!

(laporan terakhirnya <2022> dapat dilihat di sini (https://info.workinstitute.com/hubfs/2022%20Retention%20Report/2022%20Retention%20Report%20-%20Work%20Institute.pdf)

Sampailah saya pada suatu titik dalam perjalanan karier dan menemukan dua konsep yang menarik. Pertama adalah pelajar sepanjang hayat (lifelong learner) dan kedua karier protean (protean career). Konsep pertama menyatakan bahwa sebagai individu sejatinya kita tidak akan pernah berhenti belajar. Namun, hal ini jarang kita sadari, sehingga setiap hasil dari apa yang kita kerjakan terkadang hanya berakhir pada sebuah ekspresi emosi sesaat. Jika bertemu keberhasilan kita berteriak hore! jika beretemu kegagalan kita berdengus kesal. Padahal kedua pengalaman itu merupakan bahan ajar yang tidak kalah berisinya dengan teori-teori dalam buku diktat ataupun pelatihan-pelatihan dari seorang master trainer sekalipun.

Pengalaman berhasil dan gagal menjadi modal kita untuk belajar. Jika berhasil, cari tahu apa esensi dan formula keberhasilan itu, dan jika gagal, cari tahu juga apa penyebab utama dari kegagalan yang harus diperbaiki di masa mendatang. Sedikit banyak, hal ini menjelaskan bagaimana pengembangan karier dapat dimaknai sebagai proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Dan sayangnya, proses ini tidak akan mampu ditangkap oleh organisasi.

Konsep kedua adalah protean career. Yaitu suatu pendekatan pengembangan karier yang menyatakan dengan tegas bahwa tanggung jawab karier berada di pundak masing-masing orang, serta arah karier ditentukan secara mandiri yang dipengaruhi nilai-nilai pribadi untuk mencapai kesuksesan psikologis. Pendekatan ini begitu besar mempengaruhi cara pandang saya terhadap manajemen karier.

Hal pertama yang terbesit adalah keraguan yang begitu besar bahwa organisasi dengan manajemen yang kaku seperti perusahaan akan mampu mengakomodir pendekatan ini. Salah satu tujuan dasar tentang manajemen adalah untuk mengendalikan atau mengontrol. Lalu bagaimana bisa manajemen mengendalikan atau mengontrol suatu inisiatif jika pusat dari gerakan tersebut berada di masing-masing individu. Bukankah fenomena the great resignation 2 tahun terakhir telah menjelaskan dengan gamblang masalah ini.

Selanjutnya apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan?

Kalau boleh saya bilang, sudah sedikit sekali makanan di atas meja. Lupakan tentang manajemen karier. Lupakan program pengembangan karier. Mungkin sudah waktunya perusahaan memandang lain karyawan mereka. Jika selama ini, para karyawan dianggap sebagai orang-orang yang selalu mencari tangga menuju ke atas kursi kekuasaan, sudah waktunya menganggap karyawan sebagai entitas merdeka yang memiliki derajat sama namun dengan aspirasi yang berbeda-beda.

Di titik inilah menurut saya, career management tepat meletakkan fondasinya. Tetapi bagaimana dengan kinerja bisnis yang tetap harus dijaga? Mulai dari sekarang, stop gunakan tingkat retensi dan jumlah suksesor kepemimpinan sebagai ukuran kinerja untuk inisiatif manajemen karier. Sungguh akan sangat absurd mengharapkan goals itu tercapai dari sini. Biarlah target itu dipakai oleh inisiatif strategi manajemen lain, talent management atau employee experience management misalnya.

Ke depannya, organisasi dan manajer lini akan bergeser perannya. Dari awalnya sebagai aktor utama pengembang karier karyawan menjadi fasilitator dan coach pengembangan karier, sembari terus memperkuat inisiatif pengembangan bisnis (Biz.Dev.). Jadikan inovasi bisnis sebagai target dan fasilitasi seluas mungkin pengembangan jejaring bagi ruang karier karyawan. Dengan langkah ini, predikat pelajar sepanjang hayat bukan hanya berlaku bagi individu, tetapi juga bagi organisasi secara menyeluruh.

Sampai saat ini, saya masih yakin ini adalah langkah terbaik. Salah satu konsekuensi yang akan ditemui adalah organisasi akan dipaksa melupakan talent war, dan mulai membangun strategi talent empowerment secara lebih nyata. Begitulah kira-kira.


Comments

Leave a comment