Akhirnya sampai juga kontemplasi saya pada akhir siklus hidup karyawan. Pemutusan Hubungan Kerja. Sudah banyak kajian tentang disrupsi teknologi mengulas adanya ancaman ini. Namun, saya tidak menyangka hal ini berlaku secepat dan semasif ini.
Seingat saya, PHK massal terakhir terjadi di negeri ini sekitar tahun 1997-2003. Menurut laporan Bank Dunia (2004), di akhir tahun 2003 Indonesia adalah salah satu negara yang baru terlepas dari krisis ekonomi. Saya juga teringat karena di tahun terakhir itu, PHK menimpa Bapak saya. Kepala keluarga sekaligus satu-satunya penopang ekonomi di keluarga kecil kami. Peristiwa itu terjadi selang 4 tahun setelah beliau menerima plakat penghargaan 20 tahun mengabdi di tempat kerjanya.
Betapapun manusiawinya, PHK selalu membawa nestapa. Itu mengapa setiap kali perusahaan menetapkan keputusan PHK, sebagai praktisi HR saya membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mengafirmasi keputusan itu dan baru kemudian menjalankannya. Seperti mungkin sebagian besar perusahaan yang menghadapi pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, kami juga harus melakukan perampingan guna melanjutkan keberlangsungan organisasi.
Tentu saja, dampak yang paling besar terletak pada teman-teman kami yang terkena PHK. Menariknya, bagi orang-orang yang masih bertahan ternyata tidak kalah besar kerusakan yang terjadi. Gejala paling awal teridentifikasi adalah munculnya survivor guilt, atau perasaan bersalah karena masih bertahan di organisasi sementara ada teman, kerabat, rekan kerja yang terkena PHK. Perasaan ini begitu kuat dan mempengaruhi produktivitas kerja.
Dalam artikel yang dirilis Harvard Business Report, Susan Peppercorn, seorang pakar pengembangan karier menyampaikan: “Studies show that nearly three-quarters (74%) of employees retained after a layoff saw their productivity decline after it, while 69% said that the quality of their company’s product or service deteriorated“. Selain survivor guilt para survivor PHK juga cenderung mengalami kecemasan apakah dirinya akan menjadi “korban” selanjutnya. Job security turun ke titik nadir. Kecemasan ini berujung pada rendahnya produktivitas.
Akibat tersebut tidak bisa dihindari. Selama beberapa waktu paska PHK massal, tantangan rendahnya moralitas dan motivasi kerja harus dihadapi. Di sisi lain, tentunya bisnis tetap menjadi prioritas utama untuk diperhatikan. PHK massal tentu bukan tanpa sebab. Kinerja bisnis yang menurun pasti menjadi biangnya. Lalu bagaimana mengajak karyawan yang berada pada kondisi ini untuk kembali optimis dan maju bersama seperti sediakala?
Pertanyaan tersebut harus dijawab semua orang, khususnya para leaders organisasi. Namun, sebelum hal ini dapat dijawab semua orang, perlu disadari juga masih ada beberapa tantangan lagi yang dapat memperkeruh suasana.
Salah satu dampak pandemi adalah mulai terbiasanya pekerja dengan cara kerja baru, sebut saja hybrid working. Tentu tidak semua jenis pekerjaan dapat dilakukan secara hybrid. Sayangnya, tren ini diyakini sebagian besar orang, khususnya yang sempat mencicipi di masa pandemi, sebagai cara kerja seharusnya di era digital. Akibatnya, setelah kebijakan back-to-office mengemuka, tuntutan work-from-anywhere (WFA) ikut menyertai. Sebuah cara kerja yang menuntut kemandirian dalam bekerja serta minim supervisi.
Belum lama tuntutan ini muncul, organisasi sudah menghadapi tantangan baru. Menurut Gallup, jumlah karyawan yang masuk kategori actively disengaged mengingkat dari sebelum pandemi sebesar 69% menjadi 74% setelah pandemi. Gejala ini muncul dalam bentuk quiet quitting, yaitu karyawan hanya akan mengerjakan suatu pekerjaan sesuai standar atau bahkan di bawahnya, tanpa memberikan usaha tambahan untuk memastikan kualitas.
Anthony C. Klotz dan Mark C. Bolino, kedua profesor di bidang bisnis dan perilaku organisasi menuliskan dalam Harvard Business Report bahwa, “many leaders we’ve spoken with have argued that losing employees who want to leave is difficult, but having them not quit is even worse, as their unwillingness to go the extra mile often increases the burden on their colleagues to take on extra work instead.”
Nah, sekarang bayangkan dengan kondisi rendahnya produktivitas dan engagement ditambah dengan minimnya kontrol leaders dalam cara kerja WFA, keputusan strategis apa yang bisa dipilih?
Beberapa ahli mulai menyarankan agar manajemen mulai memperhatikan pengalaman karyawan di tempat kerja. Employee experience digadang dapat menumbuhkan kembali employee engagement yang mana menggunakan logika yang mirip dengan pendekatan customer experience dalam bidang pemasaran. Dikatakan bahwa apabila customer mendapat pengalaman membeli yang menyenangkan maka potensi repeat order akan meningkat.
Jacob Morgan, dalam bukunya “The Employee Experience Advantage: How to Win the War for Talent by Giving Employees the Workspaces They Want, the Tools They Need, and a Culture They Can Celebrate”, mendefinisikan employee experience sebagai pertemuan antara keinginan, kebutuhan dan harapan karyawan dengan desain organisasi yang dapat mengakomodir keinginan, kebutuhan dan harapan itu. Dengan perspektif ini, Morgan menyasar employee well being sebagai tolak ukur keberhasilan pendekatan employee experience.
Tiga cakupan yang ditawarkan Morgan untuk menjalankan pendekatan employee experience adalah Cool physical spaces, Ace technology dan Celebrated culture. Cakupan-cakupan inilah yang mulai dilihat kembali oleh manajemen untuk membangun pengalaman kerja yang menyenangkan. Itu mengapa banyak perusahan mulai berlomba-lomba memberikan pengalaman terbaik bekerja di kantor mereka dengan memberikan makan siang gratis, klub-klub karyawan, dan benefit karyawan lain yang bersifat fleksibel serta dipersonalisasi.
Inisiatif-inisiatif ini tentu bukan tanpa akibat. Pengelola kompensasi dan benefit karyawan harus memutar otak bagaimana menyusun anggaran benefit karyawan yang dapat mengakomodir kebutuhan di atas. Boleh jadi anggaran harus diperbesar atau mencaplok anggaran lain. Demi “memanjakan” karyawannya, beberapa perusahaan bahkan rela menambah hari libur untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu.
Belum lagi, jika perusahaan dipenuhi oleh generasi yang memiliki kebutuhan dan ekspektasi unik, semisal virtual office, dynamic office, layanan konseling psikologi, maupun flexible working hour, untuk menghindarkan diri dari toxic environment. Tentunya tidak semua kebutuhan itu dapat dipenuhi. Padahal bisa jadi di beberapa pekerjaan, kebutuhan itu menjadi mutlak.
Di tengah dilema perusahaan menjalankan strategi pengelolaan employee experience, dunia bisnis melesu paska pandemi. Ancaman inflasi dan resesi kembali tersiar. Investasi mulai langka dan laju rantai pasok terganggu. Perang antara dua kekuatan besar mempengaruhi iklim perekonomian dunia. Tersebutlah beberapa raksasa teknologi mulai mengambil kebijakan perampingan organisasi. Langkah ini diikuti oleh sebagian besar startup teknologi.
PHK massal kembali menunjukkan gelagatnya. Kali ini lebih mengerikan. Jika sebelumnya kita dapat memprediksi sektor mana saja yang merugi akibat pembatasan ruang gerak fisik di masa pandemi, kali ini banyak faktor yang mempengaruhi. Mulai dari faktor eksternal seperti guncangan pada makroekonomi yang mengganggu rantai pasok sampai dengan perang yang tidak berkesudahan, maupun dari faktor internal bisnis seperti kebijakan ‘bakar uang’ yang sudah tidak lagi relevan sampai pada kegagalan pengelolaan anggaran dan strategi bisnis yang meleset.
Seperti dilansir oleh katadata, Apindo (Asosiasi Pengusahan Indonesia) menyatakan ada tiga tipe industri yang berpotensi melakukan PHK di tahun 2023, yakni industri tekstil, industri pakaian jadi dan industri furnitur. Menurut Vice Chairwoman Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, ketiga industri itu merupakan industri padat karya dan berorientasi ekspor. Fakta ini menguatkan bahwa ancaman PHK bukan hanya terjadi di dunia teknologi digital.
Sekarang bayangkan apa yang akan Anda lakukan jika menjadi pengusaha di situasi saat ini? Mengharap perekonomian negara tetap kokoh dan terus mengembangkan bisnis boleh-boleh saja. Atau kita pilih opsi lain, melakukan efisiensi misalnya.
Menariknya, menukil pernyataan Taufid Ahmad yang ditulis oleh CNN Indonesia, “Bagi bisnis, layoff adalah paling mudah dilakukan karena dia bisa mencari alternatif baru yang munngkin bisa lebih murah.” Padahal menurut Direktur The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini, inilah yang harus dihindari.
“Efisiensi seharusnya mengurangi cost. Contohnya SEA, R&D naik, manajemen naik, tapi marketing turun. Model kayak tadi, marketing bisa turun, misalnya di banyak tempat biaya R&D bisa turun. Tanpa mengurangi jumlah yang harus di layoff,” imbuh Taufid, “Misalnya, yang paling drastis apakah potong gaji direksi, pendiri tidak menerima kompensasi. Itu perlu dilakukan supaya ketemu angka yang rasional.” Sedikit banyak saya setuju dengan apa yang disampaikan. Efisiensi tidak harus dengan PHK massal.
Nah, sekarang bagaimana dengan strategi employee experience? Sudah sejauh mana kebijakan ini sehingga cukup strategis untuk tidak dikenai tuntutan efisiensi, atau rasionalisasi? Sudahkah kita menghitung dampak positif yang dikontribusikan sehingga tidak alih-alih sekedar penambah biaya saja? Mampukah strategi employee experience menggantikan strategi PHK massal dalam menjalankan efisiensi?
Mari kita jawab bersama!


Leave a comment