Bagaimana HR mempengaruhi Budaya Perusahaan?

Mari bicara tentang budaya perusahaan. Sebagian orang mengartikan budaya perusahaan sebagai cara, tradisi dan kebiasaan yang diakui dan dijalankan oleh seluruh anggota organisasi atau perusahaan. Sebagian lain menganggap budaya perusahaan sebagai perwujudan nilai luhur pimpinan perusahaan yang dijalankan secara konsisten di seluruh lini organisasi. Kebenaran atas klaim keduanya dapat kita amini secara definitif. Benar bahwa budaya perusahaan berupa cara, tradisi dan kebiasaan. Benar pula bahwa budaya perusahaan sebagai perwujudan nilai luhur. Sama-sama positif maknanya dan dapat menjadi identitas bagi organisasi atau perusahaan.

Menjadi persoalan saat melihat secara teknis implementasinya. Pada titik ini, agak ragu juga menggunakan istilah implementasi. Mengingat budaya sendiri tidak memiliki spektrum yang ajeg dan cenderung menyebar. Dalam mengamati budaya kita hanya mampu mengenali indikator-indikatornya saja, yang dilengkapi oleh ukuran-ukuran superfisial dalam konteks yang sangat spesifik. Ambil contoh istilah “Budaya Membaca di Masyarakat”. Tangkapan paling konkrit atas istilah ini bisa jadi berupa “seberapa sering dan seberapa banyak masyarakat membaca dalam kesehariannya” atau juga “seberapa intens masyarakat mencari materi bacaan sebagai sumber informasi”. Keduanya benar dalam konteksnya masing-masing.

Kembali ke budaya perusahaan, pada akhirnya setiap organisasi memiliki kepentingan dan keabsahan masing-masing dalam mendefinisikan budaya perusahaan beserta indikator-indikator yang menyertainya. Meskipun dalam khasanah ilmu manajemen sudah banyak ilmuwan membingkainya menjadi informasi yang lebih terstruktur dan sistematis.

Sebut saja Edgar Schein yang mengilustrasikan budaya sebagai perekat perusahaan, sembari menjelaskan budaya adalah sistem yang dipahami bersama melalui upaya belajar, dan disebarluaskan melalui proses sosialisasi yang konsisten mengenai asumsi-asumsi dasar, keyakinan, filosofi, norma serta artifak-artifak yang hadir di dalam organisasi. Ilmuwan lain, Charles Handy, membagi budaya perusahaan menjadi 4 tipe, yakni power culture, role culture, task culture, dan people culture. Klasifikasi serupa juga dilakukan oleh Robert E. Quinn dan Kim S. Cameron dengan Competing Value Framework-nya, di antaranya adalah clan culture, adhocracy culture, market culture dan hierarchy culture.

Referensi kerangka konsep di atas sangat membantu bagi pimpinan organisasi dalam menetapkan strategi pengelolaan budaya perusahaan. Namun, sekali lagi itu semua hanya referensi. Melihat spektrum budaya yang luas, justru perusahaan memiliki banyak jalan yang dapat ditempuh. Termasuk salah satunya menekan tombol HR mode on. Eh kok ujung-ujungnya ke HR lagi. Hehe..

Sejatinya HR sebagai salah satu fungsi yang sama dengan fungsi lain memiliki andil dalam pengembangan budaya perusahaan. Meskipun terkadang secara serampangan HR mendapat predikat sebagai inisiator budaya perusahaan. Seolah budaya perusahaan hanya akan berpengaruh pada KPI divisi/departemen HR saja. Namun, tetap saja, sebagai divisi yang memiliki hubungan paling dekat dengan ‘manusia’, HR dianggap punya ‘say’ dalam memutuskan strategi pengelolaan budaya.

Mari kita menerima dengan lapang dada. Setidaknya memang ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh HR guna mempengaruhi budaya perusahaan. Saya merangkumnya menjadi tiga inisiatif strategis HR mempengaruhi budaya perusahaan. Garisbawahi kata mempengaruhi ya. Hehe..

1. Dekatkan anggota organisasi dengan visi organisasi

Langkah ini sudah bisa diinisiasi bahkan sebelum seseorang menjadi anggota organisasi. Diawali dari proses pertama dalam runtutan proses akuisisi talenta, HR sudah mampu mendorong kandidatnya mengenal visi organisasi, yang biasa dirangkum dalam strategi employer branding. Setelah kandidat berubah status menjadi anggota organisasi, HR berperan penting membuat seluru proses onboarding yang relate dengan visi. Fondasi ini penting dalam memberi penopang dinamika budaya di dalam organisasi.

2. Bangun sistem yang memungkinkan organisasi memilih pemimpin yang meyakini visi organisasi

Mengetahui visi itu penting. Namun, untuk meyakini visi dibutuhkan bukan sekedar pemahaman dan wawasan. Pemimpin yang tidak yakin dengan visi organisasi, selalu berakhir menjadi benalu bagi organisasi itu. Memastikan organisasi tidak salah pilih pemimpin menjadi peran strategis HR dalam mempengaruhi budaya. Simpul mati saja beberapa proses, semisal potential assessment, talent review, performance appraisal. Pastikan kesemua proses menggunakan ukuran yang menjelaskan keyakinan pemimpin atau calon pemimpin atas visi organisasi. Sortir dan keluarkan pemimpin atau calon pemimpin yang tidak memiliki berkeyakinan sama dari talent pool. Kapal besar organisasi harus berlayar di lautan yang sama.

3. Beri ruang anggota organisasi mendefinisikan sendiri budaya organisasi

Cukup basic assumption dan espoused values saja dalam konsep Schein yang berulang-ulang “dipaksakan” ke dalam benak anggota organisasi. Misal asumsi bahwa organisasi sebagai pendukung kelestarian lingkungan hidup, atau bahwa organisasi menjadi wadah pengembangan bagi usaha dagang rakyat, atau misalnya juga bahwa organisasi adalah cikal bakal inovator energi terbarukan. Biarkan anggota organisasi menciptakan artefak-artefak budaya secara organis. Peran HR sangat strategis dalam memberikan ruang bagi anggota organisasi mengekspresikan budaya sesuai kapasitas dan aspirasi masing-masing. Buka kesempatan setiap orang mendokumentasi dan menyebarkan hal-hal unik dalam organisasi. Perlonggar ketentuan atas norma-norma superfisial seperti misalnya cara berpenampilan, aturan bertegur sapa, format rapat, serta protokol tetek-bengek lain yang mengurung kreativitas.

Sekarang bayangkan secara ideal jika ketiga peran di atas benar-benar berjalan efektif. Pembentukan budaya organisasi/perusahaan bisa jadi tidak butuh banyak sosialisasi dan penyelarasan. Setiap orang yang yakin dengan visi dan berkenan mencapai visi itu bersama-sama, akan menumbuhkan budaya yang kuat dengan sendirinya. Tanpa slogan-slogan provokatif namun mandul. Tanpa jargon-jargon menggugah tapi palsu.

Mungkin begitu.


Comments

Leave a comment