Mengeksekusi Appreciative Inquiry

Genap sudah 7 tahun saya berkenalan dengan appreciative inquiry, sebuah metode luar biasa dalam menginisiasi perubahan masyarakat atau organisasi. Kala itu, Budi Setiawan (@bukik), seorang kawan, partner diskusi, kakak angkatan semasa kuliah, yang memperkenalkanku sembari mengumbar doktrin “Mimpi reformasi bangsa Indonesia belum tuntas”. Jika mimpi itu belum tuntas maka tidak akan ada perubahan yang berarti bagi bangsa dan Negara, begitu lanjutnya. Suatu kalimat doktrin yang baru-baru ini kusadari kebenarannya.

Appreciative Inquiry, mendengarnya pertama kali semacam mendengar sebuah teori perilaku yang rumit, rigid dan hanya cocok digunakan untuk orang sakit. Namun, sekalinya saya masuk dan mempelajarinya, maka dapat saya pahami mengapa metode yang dimulai oleh Prof. David Coperider ini begitu fantastis dan powerful. Bayangkan ketika kawan-kawan dapat membuat suatu perubahan hanya dengan: Bertanya. Seperti itulah kepraktisan di samping kegilaan yang ditawarkan oleh metode yang satu ini. Dan memang ini benar-benar gila!

image

Pernah suatu kali kami gunakan metode ini untuk melakukan perubahan di organisasi karyawan suatu universitas. Kami mendapatkan suatu pengalaman yang tidak terduga. Kala itu, @bukik, @rudicahyo, saya dan beberapa teman lain menggawangi program tersebut bersama-sama. Para karyawan universitas yang kebanyakan berstatus PNS golongan II – III, sebelumnya adalah pekerja biasa yang mengerjakan tugas-tugas rutin setiap hari sesuai dengan kebiasan yang ditentukan oleh pemimpinnya. Saat petinggi organisasi memutuskan untuk menjadikan universitas tersebut menjadi lebih inovatif dan peka terhadap perubahan, terjadi kasak-kusuk di antara karyawan dan juga muncul kekhawatiran adanya ancaman terhadap eksistensi serta pekerjaan mereka.

Kami pun diminta pihak universitas untuk memberikan penawar atas kondisi tersebut. Satu-satunya solusi yang disetuju adalah menggunakan metode appreciative inquiry. Jadi dalam kurun waktu sekitar 3 bulan kita persiapkan dan jalankan program tersebut. Mulai dari workshop sampai dengan pernyataan komitmen bersama seluruh karyawan terhadap perubahan universitas serta organisasi di dalamnya. Maka, dari sebelumnya mereka resisten terhadap perubahan, pasca-program tersebut, para karyawan justru menjadi pengawal perubahan yang paling setia.

Jadi, apa yang dilakukan oleh appreciative inquiry sebenarnya?

Pada tulisan ini saya tidak akan membicarakan tentang bangunan teoritis dari appreciative inquiry. Alih-alih berbicara secara konseptual, saya lebih suka membicarakan praktik baik dari penggunaan appreciative inquiry dalam menginisiasi perubahan organisasi. Sebelumnya, saya akan sedikit gambarkan apa yang biasa dilakukan dalam menyusun program perubahan di dalam organisasi.

Pertama, kita harus lakukan assessment terhadap posisi organisasi saat ini. Di dalam ilmu manajemen, banyak sekali metode yang dapat dipakai, saya ambil contoh satu yang sering terdengar adalah analisis SWOT (Strength-Weakness-Opportunity-Thread). Beberapa analisis juga dapat digunakan bersamaan untuk melengkapi hasil pengukuran, sehingga kita akan dapatkan kondisi organisasi saat ini. Setelah kita mendapatkan hasil assessment, selanjutnya kita tentukan titik utama perubahan serta strategi apa saja yang dapat dijalankan. Hasilnya adalah redefinisi visi dan misi organisasi. Terakhir, barulah kita putuskan strategi implementasi dari visi dan misi yang telah disepakati. Strategi implementasi juga menjelaskan mekanisme kontrol dan penilaian atas pelaksanaan visi organisasi. Pertanyaannya adalah di pundak siapakah tugas ini dibebankan?

Pada kebanyakan organisasi, perumusan tersebut terletak pada para petinggi atau pimpinan organisasi. Kebiasaan ini tidaklah buruk. Beberapa organisasi mampu menghasilkan strategi perubahan yang cukup efektif. Syaratnya adalah ketekunan dari masing-masing petinggi tersebut dalam melakukan perbaikan berkesinambungan atas kekurangan-kekurangan yang muncul dari pelaksanaan visi organisasi. Bagi yang tidak mampu, tentunya setiap permasalahan dapat menggeser kepentingan pelaksanaan visi organisasi dan membiarkannya jatuh bercecer di tanah. Permasalahan demi permasalahan datang dari ranah praktis sehingga menggoyahkan visi yang telah disepakati. Kita dapat melihat contohnya pada pemerintahan negara kita pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya dalam satu dekade terakhir. Sebuah pemerintahan yang sangat tidak partisipatif.

image

Appreciative inqiry mengajarkan kepada saya, tentang bagaimana menjalankan perubahan yang partisipatif, mulai dari proses assessment sampai dengan tahap implementasi perubahan. Proses partisipatif ini sudah terjadi sejak awal perumusan perubahan dan bukan hanya saat pengeksekusiannya saja. Dalam praktek yang biasa kami lakukan untuk memfasilitasi perubahan, setiap anggota organisasi menjadi sumber kekuatan sekaligus sumber ide perubahan organisasi. Oleh karenanya dalam proses awal, setiap anggota organisasi harus dilibatkan. Dengan menggunakan proses dialog apresiatif, bertanya adalah senjata utama perumusan ide perubahan. Dalam proses ini kami biasa mengajak para anggota organisasi untuk saling mengajukan pertanyaan apresiatif dan berbagi cerita inspiratif. Tentu sebelumnya kita harus tentukan terlebih dahulu topik afirmatif yang akan menjadi nafas perubahan yang ingin dirumuskan. Akan ada 4 tahapan setelahnya yang mengikuti, yakni: Discovery, Dream, Design, Deliver dan Destiny.

Keempat tahap yang lebih dikenal sebagai Siklus 4D ini merupakan proses utama penggunaan metode appreciative inquiry. Alih-alih merumuskan perubahan dari atas kemudian diturunkan ke bawah sembari mengontrol komitmen dari masing-masing anggota, pimpinan organisasi justru lebih mudah mengajak seluruh anggota untuk ikut merumuskan sendiri visi organisasinya. Dengan appreciative inquiry hal ini menjadi tidak mustahil. Kekuatan bertanya dan bercerita menjadi paduan ciamik bagi organisasi dalam menentukan visi serta strategi pencapaiannya. Meskipun begitu pimpinan organisasi masih tetap memegang kendali apabila dia menjadi orang yang memulai sebuah topik perubahan organisasi. Maka, appreciative inquiry akan tetap menjadi tools perubahan alih-alih sebuah desentralisasi kekuasaan.

Dari praktek yang telah kami lakukan metode ini sebenarnya masih sejalan dengan metode-metode yang disediakan oleh pakar-pakar manajemen terdahulu. Perbedaannya terletak pada modal dasar perubahan yang seringkali mampu mengerucutkan sebuah visi menjadi sekedar menghindari bencana atau memperbaiki yang telah rusak. Misalnya pada penggunaan analisis SWOT, modal yang didapat seringkali cenderung mengarahkan visi untuk dapat “mengatasi T sembari memperbaiki W dengan menggunakan S dan memanfaatkan O”. Jelas sekali ini menggambarkan bahwasanya kebanyakan organisasi bergerak dari “yang minus” ke arah “yang plus”. Pada kenyataannya, ketika strategi organisasi dijalankan, maka ia hanya sampai pada “yang nol” dan akan tersendat untuk mencapai “yang plus”. Salah satu alasan yang menyebabkan hal ini terjadi adalah organisasi tersebut tidak mengelola S dengan efektif, karena kembali lagi S hanya dikerahkan untuk mengatasi W.

Dalam fase Discovery organisasi diajak untuk menemukan sebanyak mungkin S selama organisasi berjalan di masa lampai. Apabila penemuan ternyata lebih banyak W, maka melalui proses inquiry hendaknya W dapat diparafrasekan sehingga ditemukanlah S. Sebenarnya dalam fase ini, selain kita menemukan S, secara simultan sebenarnya kita juga telah mengelolanya. Kekuatan yang kita temukan dalam fase Discovery akan berbeda dengan kekuatan yang didapat melalui analisis SWOT. Kekuatan yang ditemukan dalam proses appreciative inquiry bersifat aplikatif dikarenakan berasal dari hasil praktek baik organisasi di masa lampau, bukan hanya sekedar angka-angka taktis operasional. Artinya, kekuatan-kekuatan ini selain berguna bagi organisasi, juga menjadi spirit-booster bagi para anggotanya.
image

Dalam menetapkan visi organisasi, pimpinan organisasi tak jarang menggunakan data hasil analisis kondisi masa kini untuk menyusun visi sesuai dengan respon yang sesuai. Kelemahannya adalah ketika kondisi di masa depan berubah maka harus ada penyesuaian terhadap visi yang telah disepakati sebelumnya. Fase Dream menyediakan sebuah proses antisipasi terhadap masa depan. Di dalam fase inilah muncul gambaran yang melampaui visi organisasi. Setiap anggota bukan hanya berbicara mengenai visi organisasinya melainkan juga visi dirinya sendiri. Secara tidak langsung dia akan meng-engage masa depannya dengan masa depan organisasi. Oleh karena itu, visi organisasi yang dihasilkan akan lebih berupa komitmen dan emansipasi bersama ketimbang panduan yang digariskan oleh pemegang kebijakan.

image

Saat berbicara mengenai implementasi strategi organisasi, pasti kita akan lebih banyak berbicara tentang target organisasi. Pada fase Design, keseluruhan proses tersebut akan terakomodir. Hanya saja dalam beberapa praktek fasilitasi AI yang kami adakan, kerapkali kami kesulitan dalam melakukannya. Beberapa sebab adalah ketika kami melakukan fase sebelumnya (Dream), para peserta fasilitasi cenderung melambung terlalu tinggi dan susah kembali ke bumi. Akibatnya, bukan saja fase tersebut menjadi tidak efektif, visi yang sebelumnya sudah ditetapkan akan menjadi terlalu kabur untuk dijelaskan bahkan untuk sekedar dilihat. Untuk fase ini AI membutuhkan bantuan dari mazhab lain guna melengkapi aliran harmonis dari fase sebelumnya.

Adalah Balanced Score Card (BSC) yang pertama kali saya lirik pada waktu itu. Sebuah metode yang sangat mapan di lingkup organisasi untuk digunakan sebagai rancang bangun implementasi strategi organisasi. Namun, dikarenakan ia hanyalah rancang bangun, maka jadilah visi organisasi juga akan menjadi rancangan saja dan gagal dijalankan. Sampai pada suatu ketika saya berkenalan dengan mazhab Covey yang mengusung 4 discipline of execution (4DX), pemahaman saya berubah.

4DX menjadi tambatan hati saya ketika berbicara tentang eksekusi. Meskipun saya belum pernah menggunakan secara praktis, tetapi dari contoh kasus yang saya ketahui, penggunaan 4DX relevan dengan proses 4D cycle yang dimiliki appreciative inquiry, terlebih pada fase Design dan Destiny. Konsep Dream yang liar dapat dijinakkan oleh konsep Wildly Important Goals (WIG). Kesenjangan antara fase Dream yang strategis dan fase Design yang taktis dapat dijembatani oleh konsep “lag measure” dan “lead measure”. Penggambaran design yang kaku dan cenderung “default” dapat dibuat lebih ramah dengan menggunakan “scoreboard”. Pun dalam pelaksanaan fase Destiny yang terlalu mekanis dapat dibuat menyenangkan dengan menggunakan konsep bermain.

Sunggu kolaborasi yang harmonis antara dua mazhab kontemporer yang berbeda akar. Seperti telah saya sebutkan di atas bahwasanya 4DX berfokus pada eksekusi. Dengan mengkolaborasikan 4DX dan 4D cycle, proses perubahan bukan hanya berhenti pada ide fantastis dan inovasi yang liar, tetapi dapat dijalankan. Dan ini adalah PR bagi appreciative inquiry agar dapat diterapkan di dalam lingkup organisasi yang lebih luas.


Comments

One response to “Mengeksekusi Appreciative Inquiry”

  1. Waktu baca artikel ini aku ya seneng dan sedih. Bangganya karena kamu bergerak dengan passionmu selama 7 tahun menekuni bidang yang sama. Aku sendiri sampai sekarang masih bongkar pasang. Sedih lagi kalau inget kampus, andai dulu bener bener diniatin, bisa jadi kampus udah punya great branding terkait ini. Sukses buatmu us. ๐Ÿ™‚

    Like

Leave a comment