Kemarin, tanggal 7 Maret, aku mengundang direksi untuk meeting dan mendengarkan pemaparan program dari tim kerjaku. Seperti meeting-meeting sebelumnya, aku sudah siap dihadapkan oleh bantahan, challenging statement maupun kritikan atas materi yang akan aku presentasikan. Di luar dugaan, materi yang semula kukira susah untuk dipresentasikan itu melenggang mulus dengan penuh afirmasi dari direksi. Bukan sebuah alasan bahwa mood direksi kami sedang baik, karena aku tahu sendiri kondisi kantor saat itu penuh dengan kejutan yang bernada negatif. Mulai dari gejolak karyawan mengenai compensation & benefit, sampai dengan turunnya nilai saham perusahaan. Nope! Bukan mood baik yang membantuku, namun ialah METAFORA.

Awalnya kepalaku cukup pusing 7 keliling lapangan bola memikirkan bagaimana membicarakan konsep yang abstrak dan baru. Kusebut baru karena sebelumnya tidak ada konsep tersebut. Oh ya, aku sedang bicara tentang konsep pengembangan karyawan. Dan aku pastikan dengan kesungguhan penuh, konsep yang kubuat belum pernah ada di perusahaan manapun, di konsultan manapun dan/atau di belahan dunia manapun. So, apa yang harus aku lakukan untuk dapat menjual produk ini dengan baik?
Adalah pergumulanku dengan orang-orang seperti @ardinouv, @rudicahyo maupun @bukik yang membuatku mengenal sebuah konsep yang bernama metafora. Silahkan kawan googling saja apa itu metafora dan temukan sendiri keajaibannya. Pada intinya, aku memberanikan diri menggunakan metafora dalam merangkum konsep pengembangan karyawan di kantor. Bukan itu saja, dalam presentasi ke direksi pun, aku gunakan metafora itu dalam menjelaskan konsep yang kuusung. Ini adalah pelajaran pertama kawan. Sekali menggunakan metafora, seterusnya gunakan itu.
Terus terang aku pernah mengalami kegagalan dalam bermetafor. Setelah materi presentasi telah disusun secara metafor, aku cobakan untuk presentasi di depan atasan langsung. Kala itu keraguan muncul apakah penggunaan metafor akan dapat diterima atau tidak. Akhirnya aku gunakan bahasa teknis dalam menjelaskan metafora yang sudah susah-susah kubuat. Hasilnya… NOL BESAR!

Atasan memintaku merombak secara besar-besaran konsep tersebut, dan ujung-ujungnya kuletakkan ide gila itu ke tepi meja kantor. Aku frustrasi!
Tidak disangka pada pergantian tahun, aku mendapat kesempatan kedua untuk kembali menawarkan konsep gila tersebut. Kali ini bukan saja atasan yang ingin mendengar, tetapi direksi. Konsep yang semula sudah terkubur oleh tumpukan tugas lain, mulai kugali kembali. Saat kutemukan, kutiup permukaannya dan debu pun berterbangan memenuhi meja kerja. Senang sekali! Di situlah asyiknya menemukan benda purbakala dari zaman kuno.

Sejujurnya, konsep yang kembali kutawarkan sebenarnya tidak ada perubahan sama sekali. Hanya menjadi keinginan pribadi untuk menyempurnakan konsep metaforis sehingga dapat dijalankan secara aktual. Bahkan untuk pengantar presentasi, aku masih harus memberikan batu tolakan berupa konsep linear untuk dapat dibawa terbang ke langit metafor.
Benar juga, pengantar awalku mendapat sanggahan bahkan sebelum kalimat kedua sempat kuucapkan. Busyet! Sungguh dahsyat daya tarik pola piker linear mengundang respon negatif datang dalam sekejap. Seketika aku sempat kelu lidah, yang akhirnya harus aku putuskan mengatakan, “Baik pak. Nanti akan saya cek kembali”. Damn!
Namun, presentasi tidak berhenti di situ. Tiba saatnya dengan kebanggaan dan idiotisme yang kukuh aku pencet tombol menuju ke slide berikutnya dan muncullah sebuah gambar. Saking penuhnya gambar tersebut memenuhi layar sehingga kubiarkan tulisan yang menyertainya tidak aku keluarkan terlebih dahulu. Mulut pun aku biarkan terdiam. Ruang meeting menjadi hening sekitar 10-15 detik. Kesempatan itu aku gunakan untuk menarik nafas dalam-dalam sembari merangkai syair romantis mengenai gambar tersebut.

Adalah gambar pegunungan yang damai membuat orang-orang di ruangan itu terkesima, tak terkecuali atasanku. Cuaca pagi yang sedikit mendung membagi sinar redup mentari ikut mendamaikan ruang meeting. Segera saja aku mulai bertanya, “Bagaimana rasanya mendaki gunung?”, dilanjutkan, “Apa tujuan mendaki gunung?”. Pasti untuk mencapai puncak yang tertinggi bukan. Dan mengalirlah uraian demi uraian tentang menyenangkannya pendakian. Pos demi pos kita lalui bersama sampai pada suatu titik aku harus kembali berbicara tentang bagaimana menjalankan konsep yang aduhai itu. Pelajaran kedua kawan. Setelah metafora bekerja, libatkan orang lain untuk ikut berdansa di dalamnya.

Tak pernah aku menduga, direksiku pun langsung allign dengan konsep penuh metafora itu. Istilah-istilah pendakian yang kukira akan dihujat pun digunakannya dalam mengklarifikasi ide tersebut. Hampir tidak ada pertanyaan yang bersifat mengkritik atau bahkan mempertanyakan latar belakang atau konsep dasar dari ide yang meluncur dari otak miring ini. Bagai kondisi trance, direksi dan orang-orang di ruang meeting itu menikmati perjalanan metaforis yang kutawarkan. Yang paling menyenangkan, kami melakukannya secara bersama-sama. Jika jalan menaik, semua ikut mendaki. Ketika jalan menurun, semua ikut meluncur.
Sebelum perjalan aku akhiri, gong pamungkas aku persiapkan. Ide-ide yang terpampang di dalam presentasi itu segera aku rangkum ke dalam sebuah uraian tentang program-program konkrit. Mumpung candu metafora belum hilang efeknya, segera saja kutawarkan beberapa program sesuai konsep yang sudah kupaparkan sebelumnya. Semakin banyak program yang kutawarkan semakin baik. Paling tidak, orang-orang di ruangan itu mulai tersadar sudah waktunya turun ke bumi dan hidup di dunia nyata. Hahahaa…
Tentunya ide praktis yang aku tawarkan di akhir perjalanan haruslah faktual dan berorientasi pada data serta efektivitas. Dengan begitu, akhir perjalanan metafora akan terasa manis dan mengendap di cerebri masing-masing orang. Ini pelajaran terakhir kawan. Selamat mencoba!


Leave a reply to rudicahyo Cancel reply