TNA? Buat Apa?!

Edisi #SusahGakSihJadiHRD
?????

Baik pak, sekarang boleh lihat dokumen TNA-nya?”, tanya seorang auditor di depan meja saya beberapa tahun lalu.
Iya pak, sebentar,” balas saya agak gemetar.
Berkali-kali dalam hati saya mengumpat, “cih, kenapa ribet banget sih ngurusin TNA!” dan akhirnya ketemu juga dokumen yang diminta. Segera saya berikan dan menyiapkan diri untuk pertanyaan selanjutnya.
Pak, ini kok saya lihat training yang dilaksanakan tidak sesuai dengan hasil TNA-nya ya pak?
Habis sudah kesabaran saya dan muncul hasrat berteriak lantang di depan Bapak auditor yang terhormat, “TNA? BUAT APA?!

tna 4

Di awal-awal menjabat posisi training officer, saya sangat tergoda untuk menunaikan tuntunan suci TNA. Setiap pengajuan training dari para karyawan dan “bos” harus lewat scanning di depan lensa TNA. Para user saya minta untuk tegas mengikuti tuntunan TNA. Boleh lah sesekali bagi user yang berlaku manis, terjadi perubahan sedikit pada materi atau jadwal trainingnya. Dan di akhir tahun, selesai mengucek kedua mata, “WHAT?! Kenapa training yang dilaksanakan berbeda jauh dengan hasil rekomendasi dari TNA?” Mengapa ini bisa terjadi?

Kekagetan saya waktu itu meletupkan rasa penasaran mengenai apa itu sebenarnya sosok TNA, mengapa kehadirannya seperti ada dan tiada. Dan yang tak kalah penting adalah apakah saya sudah benar melakukan dan mengawalnya sebagai panduan pelaksanaan training di kantor saya? Kembali membuka buku, browsing internet dan bertanya kepada siapa saja, itu yang saya lakukan.

Bertanya kepada siapa saja merupakan momen yang sangat menggugah hati saya mengenai realitas TNA. Hampir semua orang, teman atau kerabat yang berkecimpung di dunia training management ikut terjun bebas dalam kerepotan membuat dan mengawal TNA.

Training Need Analysis (TNA) menjadi perbincangan menarik di atas kertas kerja dan mulai terlihat menjijikan, bahkan cenderung dihindari kala dihadapkan pada praktik/proses pelaksanaan training di lapangan. Adalah training officer yang menjadi sasaran tembak kerumitan menyesuaikan pelaksanaan training sesuai dengan hasil TNA.

Hampir putus asa saya menyaksikan kehadiran TNA yang semakin absurd di tengah lalu lintas bisnis organisasi. Saat itulah saya menyadari bahwa selama ini tujuan diadakannya TNA terlalu kerdil, tidak adigang-adigung-adiguna. TNA hanyalah syarat administratif yang harus dibuat sebagai pelengkap hasrat compliance pada sistem yang dianut perusahaan.

Esensi TNA bisa jadi termaktub di dalam buku laporan keuangan perusahaan dalam bentuk matriks training. Seakan perusahaan telah membuang uang demi pengayaan kompetensi karyawan yang direncanakan, dilaksanakan dan diukur secara obyektif. Penampakannya juga terlihat cantik dalam laporan audit ISO ataupun laporan audit sistem manajemen lainnya. Jika hasil evaluasi training sebagai raja, TNA adalah ratunya.

Nyatanya, matriks training bisa jadi check list yang penuh centang-perenang saat auditor bertanya, “baik pak, coba centang program training apa saja yang tidak dilaksanakan pada tahun ini!”. Di situlah TNA kehilangan eksistensinya. Wajar bila saya dan teman-teman sesama training officer bertanya, “TNA? Buat apa?

Namun, di balik hilangnya eksistensi TNA, terdapat secuil harapan yang dapat mendorongnya menjadi nyata dan ‘bekerja’. Justru karena TNA turut menyokong nilai maksimal kinerja perusahaan, khususnya dari segi implementasi strategi, ia wajib dijalankan secara strategis. Tentu saja HR Department menerima predikat emas ini melalui manajemen training yang ciamik.

Dikarenakan TNA harus ditarik ke ranah strategis, seorang training officer yang menerima titah melaksanakan TNA mau tidak mau diminta menginjakkan kakinya ke area strategis. Jauh lebih cepat daripada officer-officer yang lain. Bahkan, Helicopter View harus dimiliki oleh pengemban posisi ajaib yang satu ini. Training officer menjadi guardian satu-satunya atas kebangkitan eksistensi TNA di perusahaannya.

tna 1

Untuk pertama kalinya, seorang training officer harus menolak saat menerima perintah bosnya, “Kamu coba lakukan TNA. Sebar kuisioner ke semua karyawan, kumpulkan lalu kompilasikan. Tulis nama-nama training yang kamu dapat ke dalam sebuah matriks. Kamu akan saya nilai excellence jika proyek ini bisa selesai dalam 2 minggu.” Untuk pertama kalinya seorang training officer harus berani mencampakkan tawaran nilai excellence demi harkat dan martabat profesinya. Demi harkat dan martabat TNA.

Tetapi jika anda tetap menerima tawaran seperti itu, tolong ganti kata TNA (Training Need Analysis) menjadi CoDET (Compilation of Demanded Employee Training). Dalam tugas itu anda tidak memerlukan ANALYSIS dan anda tidak akan menemukan TRAINING NEED. Percayalah, I’ve been there Vroh!

Dalam pengembaraan ke ujung dunia dilanjut pertapaan di kawah chandradimuka, akhirnya saya temukan 3 domain besar dimana Training Need Analysis dapat dijalankan secara lebih bermartabat, tentunya juga lebih berfaedah bagi perusahaan.

Konsep yang terdiri dari 3 kegiatan analisis yang sedikit berat ini memang berbeda dari sebelumnya. Tetapi jangan takut anda akan ditertawakan bos anda. Dengan argumentasi yang lugas dan sedikit manipulatif bisa jadi bos anda berbalik mendukung apa yang anda lakukan. Yah, apalagi kalau bukan sekedar numpang tenar.

Tiga domain besar itu adalah strategi perusahaan (Corporate Strategy), pembagian fungsi dalam organisasi (Job Function) dan pengelolaan kinerja karyawan (Performance Management). Jika anda mengira akan membaca Learning & Development sebagai salah satu domain, anggap saja peluru anda sedikit meleset karena perubahan arah angin.

tna 3

Sungguh saya menyesal mengatakan domain Learning & Development bukan ladang tempat TNA ditanam. Anda tidak akan menemukan “NEEDs” di dalamnya. Learning & development adalah apa yang anda lakukan nantinya sebagai internal consultant perusahaan di bidang pengembangan SDM. Tetapi untuk TNA, marilah kita berfokus pada kebutuhan (needs). Anda tentu akan menolak saat ditawari dokter obat tertentu sebelum mengetahui jenis penyakit apa yang diderita bukan?

Mari kita menginjak satu-persatu ladang subur yang tersedia. Dimulai dari yang paling berbobot; Strategi perusahaan. Untuk yang satu ini, kunjungan beberapa kali ke Departemen Business Development akan sangat membantu menjernihkan kacamata anda. Mari kita melangkah perlahan kali ini.

Disadari atau tidak, setiap perusahaan atau organisasi selalu memiliki strategi untuk terus tumbuh dan mencapai kesuksesannya dalam tolak ukur yang beragam. Oleh karenanya, strategi bukan hanya menjangkiti profit organization. Organisasi sosial kemanusiaan pun membutuhkan strategi agar dapat tumbuh dan berkembang di dalam bidangnya masing-masing.  Bahkan dalam skala lebih mikro, manusia pun berstrategi.

Katakanlah anda sedang mencari pasangan dan anda bukan orang yang bisa berpasangan dengan siapa saja. Anda memiliki kriteria pasangan ideal, sebut saja atletis sebagai salah satunya. Anda tentu paham untuk mendapatkan perhatian dari cowok/cewek yang anda incar (gebet) terdapat faktor-faktor penentu keberhasilan yang sangat umum.

Pada contoh di atas, hobi berolahraga bisa jadi menjadi faktor penentu keberhasilan yang paling utama untuk mendapatkan perhatian gebetan anda. Karena dia atletis maka tentu hobi berolahraga. Kelanjutan silogismenya tentu saja, dia akan memilih pasangan yang juga hobi berolahraga.

Tetapi berapa juta orang di dunia ini yang hobi berolahraga? Mungkin hobi berolahraga tidak akan membantu diri anda lebih bersinar daripada orang-orang itu. Dan jangan menggila jika gebetan anda berjalan cuek di depan anda yang ngos-ngosan setelah menghabiskan 10 putaran di GBK Senayan. Anda perlu faktor lain yang melebihi hobi olahraga, faktor unik yang hanya anda yang miliki.

Mungkin sekedar saran dari saya, coba jadikan sulap sebagai hobi baru anda. Mungkin saja perhatian si doi akan terarik saat anda melakukan putaran yang sama di GBK Senayan dengan mata tertutup. Bisa jadi justru hobi yang terakhir ini yang akan menjadi daya tarik anda dan menjadikan hobi berolahraga sebagai default dari requirement yang diminta gebetan anda.

Dalam dunia organisasi, hobi berolahraga adalah IKSF (Industry Key Success Factor) dan hobi sulap adalah CKSF (Corporate Key Success Factor). IKSF adalah faktor determinan unik yang membedakan satu industry dengan industry lainnya. Misal, IKSF industri hospitality akan berbeda dengan IKSF industri manufacture. Pada industri pertama, faktor penentu keberhasilan adalah customer-oriented service. Sedang yang lain meletakkan Cost Efficiency sebagai penopang keberhasilannya.

CKSF adalah faktor keberhasilan perusahaan yang membedakannya dengan kompetitor pada industri serupa. Tidak jarang sebenarnya CKSF didapatkan dari saringan what we best at pada IKSF. Misalnya sebut saja Market Penetration, Cost Efficiency dan Product Variation sebagai IKSF pada industri makanan ringan. Sebuah perusahaan dapat saja mengambil satu atau dua dari tiga IKSF untuk dibaiat sebagai CKSF. Tetapi tidak menutup kemungkinan perusahaan itu juga menambahkan faktor unik lain. Pada industri yang sama misalnya faktor On-time Delivery.

?????????????????????????????????????????????

Saringan what we best at ini biasa kita kenal sebagai Competitive Advantage. Nah, barulah kita bicara tentang TNA. Agak sedikit terjal dan berliku memang ketika berenang dalam topik bahasan para dewa. Competitive Advantage inilah yang didorong untuk diterjemahkan ke dalam value perusahaan agar dapat diinternalisasikan ke seluruh elemen organisasi.

Seketika setelah value perusahaan terbentuk dalam proses ini, akan sangat mudah seorang training offficer menariknya ke rumah suci “training need” dan mulai membaptisnya menjadi program mandatory training.

Saat ini value perusahaan seakan sudah menjadi template di dunia industri sehingga tak ayal analisis IKSF & CKSF hanya berhenti di level para dewa. Lalu dimana letak analisisnya? Tentu saja ketika kita menyimak value perusahaan, kita bisa melakukan penelusuran ke belakang dan pengembangan ke depan.

Langkah teknisnya bagaimana? Monggo kita temukan bersama.

Mari kita menginjak ladang berikutnya; pembagian fungsi dalam perusahaan. Bagi seorang training officer yang telah belajar dasar-dasar ke-HRD-an pasti pernah bersinggungan atau bertatapmuka dengan pekerjaan JOB ANALYSIS. Hasil kerjanya terekam dalam dokumen yang dikenal sebagai Job Description atau Uraian Pekerjaan.

Dalam template umum, Dokumen Job Description juga berisikan Job Specification, dan tak jarang dilengkapi dengan daftar kompetensi yang dibutuhkan (Required Competency). Belum lagi ditambah sudah ada daftar kebutuhan trainingnya. Cihui! Tak ayal, pekerjaan ini hampir-hampir bebas dari tugas analisis yang berat meski harus berlama-lama duduk di belakang meja.

Tetapi mohon bersabar dulu dan dengarkan pertanyaan saya. Apakah anda yakin daftar kebutuhan training dan kompetensi yang termaktub dalam living document tersebut belum obsolate? Saya katakan sebagai living document karena Job Description tidak berdiri sendiri. Sedikit saja terjadi organization re-structurization atau business process improvement/re-engineering, 150% saya pastikan terjadi perubahan uraian kerja.

Kebergantungan ini adalah lahan analisis anda. Bukan tidak mungkin memang ketika anda melakukan Training Need Analysis, anda juga melakukan Job Re-Analysis. Makan tuh Cihui!

Apakah dengan TNA model ini kita benar-benar mendapatkan training need? Boleh jadi benar jika anda melakukannya dengan benar pula. Tipsnya adalah untuk posisi di bawah/non manajerial fokuskan pada hard-skill dan untuk level manajerial ke atas, oprek-oprek soft-skillnya, lebih-lebih leadership skillnya. Jaminan mutu, matriks training anda akan lebih Do-able.

tna 2

Ladang TNA terakhir adalah yang paling mengasyikkan. Jika di ladang pertama anda lebih banyak menyimak pitutur dari para dewa, dan di ladang kedua anda kembali di belakang meja, pada ladang terakhir waktu anda akan tergerus oleh sesi konsultasi dan segala diskusi produktif yang penuh idealisme. Anda akan berhadapan langsung dengan user anda. DAIREQ KASTEMER ANDA!

Anda akan sering mendengar, “Anak ini performance-nya bagus, anaknya baik, penurut, tapi untuk jadi leader kok saya masih ragu ya. Ada gak training yang cocok buat dia?

Atau, “Aduh! Padahal sudah 3 tahun ini saya ikutkan dia training yang sama, kok ya performance-nya gak naik-naik. Bisa gak dibuatkan training agar kita bisa tahu sebenarnya bakatnya dimana nih orang?

Atau, “Gini ya, pak. Saya minta training A, B, C dan D dijadikan mandatory, biar semua orang merasakan. Begini lho kalo jadi saya ini. Jangan sembarangan minta hari ini, hari ini langsung jadi!

Anda bisa membayangkan skenario paling liar yang bisa terbayang kala bermain dalam domain performance management. Satu hal yang harus anda pegang teguh adalah anda sedang mencari needs, sekali lagi needs, berdasarkan kinerja yang terekam di setiap laporan kinerja tahunan karyawan. Anda mungkin harus berdiskusi panjang dengan user (biasanya division head dan department head) anda. Tapi fokuskan pikiran anda untuk satu tujuan, yakni membantu para karyawan untuk menemukan knowledge, skill atau attitude apa yang harus di-improve.

Pada domain pertama, sasaran anda adalah seluruh organisasi. Pada domain kedua sasaran anda adalah posisi atau fungsi jabatan. Pada domain terakhir anda langsung membidik nama karyawan. Pada domain satu dan kedua, hasil TNA bisa langsung dimasukkan ke dalam training matrix. Pada domain performance management, hanya kasus khusus dan masif saja yang akan dimasukkan ke dalam training matrix.

Misalnya, akibat kurangnya sosialisasi implementasi safety procedure, banyak manajer lini yang kebakaran jenggot karena skor compliance mereka merah di penilaian kinerja tahunan. Ujung-ujungnya permintaan atas sosialisasi ulang safety procedure meningkat.

Dalam proses ini terkadang kita silau dan mengira keinginan atasan karyawan adalah kebutuhan karyawan. Akibatnya, muncul judul-judul training baru yang belum pernah ada di matriks training sebelumnnya. Entah karena prabawa user anda yang terlalu besar atau karena anda terbuai dengan argumentasi yang terkesan logis, sehingga anda harus memasukkan judul itu ke training matrix.

Kuncinya adalah kesabaran. Hendaknya proses ini didahului oleh pembuatan training matrix menggunakan TNA model sebelumnya (Corporate Strategy Based dan Job Function Based). Terkadang apa yang diminta user sudah tercetak dalam analisa yang kita lakukan sebelumnya. Anda tinggal tunjukkan kisi-kisi materinya. Jika user setuju, bungkus. Jika tidak, lanjutkan analisis anda.

Inilah pekerjaan analisis yang sangat dinamis. Keputusan collegial-collective akan didapatkan dalam proses ini yang akan direkam dalam employee development plan. Di samping itu, analisis kebutuhan training berdasarkan kinerja karyawan menjadi pondasi yang kuat untuk memaksa manajer lini menjalankan jadwal training yang telah disepakati di awal tahun.

Sekiranya inilah akhir dari pengembaraan saya di dunia TNA. Alangkah bahagianya saya jika ada yang menyanggah, memberi masukan dan kritik atas topik ini. Mungkin juga bertanya kenapa dari tadi tidak ada bahasan tentang competency gap. Hehe… Tadinya mau buat tulisan pendek, lah kok jadi panjang. Sebenarnya ulasan di atas terangkum dalam gambar di bawah ini.

tna 6

Comments

2 responses to “TNA? Buat Apa?!”

  1. wah… berasa dpt pencerahan nih dari Pak Andrie… dan yang lebih gilak lg ternyata kita pernah join di 2 perusahaan yang sama … Salam kenal kembali Pak Andrie

    Like

    1. Saya ga kepikiran ada yang komentar ditulisan ini. Salam kenal. Perusahaan apa aja ya?

      Like

Leave a reply to aziz Cancel reply