Mendulang Emas dari Karyawan Keluar

Edisi #SusahGakSihJadiHRD

Semua berawal dari postingan status linkedin seorang konsultan tentang 5 (lima) alasan utama karyawan keluar dari perusahaan. Tergelitik atas akuratnya alasan-alasan itu tatkala dibandingkan dengan pengalaman pribadi saat menjadi resigner (Red: karyawan yang keluar dari perusahaan), saya mengajukan pertanyaan lain. Mengapa alasan-alasan tersebut jarang kita jumpai saat kita, sebagai praktisi HRD, melakukan exit interview kepada calon resigner?

glk

Dalam logika sederhana, perusahaan yang ingin berkembang membutuhkan modal. Modal yang dibutuhkan bisa modal finansial maupun non-finansial. Data historis perusahaan termasuk modal non-finansial. Data itu selalu termaktub setidaknya di kuadran Strenght & Weakness pada setiap lembar analisa SWOT perusahaan.

Bicara tentang data historis pasti bicara tentang kondisi internal perusahaan. Siapa yang paling mengerti dan merasakan kondisi internal selain manajemen, para karyawan dan mantan karyawan. Jika menggali data dari manajemen dan karyawan bagai menemukan batu akik (awalnya tampak berharga, semakin lama digosok, semakin kelihatan asli atau palsunya), maka mencari data dari karyawan keluar seperti mendulang emas (terima saja bersama kotorannya, karena di balik itu sesuatu yang berharga menanti anda).

Ya, benar, kita sedang bicara tentang exit interview. Istilah yang mustahil di-Indonesia-kan kecuali menyematkan definisi praktis di atasnya. Misalnya seperti ini, exit interview adalah wawancara yang dilakukan oleh perwakilan manajemen kepada calon karyawan yang keluar dari perusahaan. Definisi ini tak sepenuhnya benar. Sila cek di google setelah ini.

Pada dasarnya manajemen memiliki kuasa untuk memperlakukan tindakan apapun terhadap karyawan keluar. Selama hak-hak karyawan telah dipenuhi, sepenuhnya kendali atas calon karyawan keluar berada di tangan manajemen. Lebih-lebih pada karyawan yang bernasib sial, dimana kesialannya membuahkan keputusan manajemen mengatakan, “tiada maaf bagimu!”

Untuk apa saja kuasa itu, beberapa perusahaan memiliki perspektif berbeda. Bagi perusahaan yang concern pada pengembalian aset perusahaan, masa one month notice dimanfaatkannya untuk berperan sebagai pengepul barang bekas pakai karyawan yang akan keluar. Dalam sudut pandang perusahaan ini, setiap aset yang digunakan karyawan dalam proses bisnis adalah milik perusahaan dan harus dikembalikan jika karyawan tersebut mengundurkan diri.

Di sisi lain, terdapat perusahaan yang memiliki perspektif bahwa knowledge dan skill karyawan merupakan aset perusahaan bernilai tinggi. Oleh karenanya, sebelum anda keluar dari perusahaan ini, jangan kaget jika diminta menjadi trainer dadakan kepada replacer anda atau orang lain yang menjadi bagian dari tim anda. Bahkan pada tingkatan ekstrim, perusahaan ini tidak akan membiarkan anda melenggang bersama sertifikat pelatihan yang pernah anda ikuti atas nama perusahaan.

Perusahaan berikutnya lebih fokus melihat pengalaman anda sebagai aset mereka. Dengan kacamata ini, mereka memiliki inisiatif untuk membangun database mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan karyawan ketika bekerja. Untuk mempertajam analisa, mereka lebih memilih para karyawan yang sebentar lagi hengkang dari perusahaan. Karena seperti anda ketahui, para karyawan yang masih aktif agak sedikit uhuk, kurang ikhlas memberi jawaban jujur untuk urusan yang satu ini.

exsn

Itu sebab di awal saya katakan informasi dari karyawan keluar dijamin bernilai daripada sekedar fenomena batu yang tak hanya tidak punya standar harga, tetapi juga membutuhkan waktu lama untuk memeriksa kesahihannya. Informasi dari karyawan keluar mungkin agak kencang menampar muka perusahaan. Anggap saja itu sedikit lumpur yang harus disisihkan sebelum menemukan butiran emas di dalamnya.

Adapun mengenai exit interview sendiri, beberapa perusahaan telah sukses mendayagunakan sumber informasi ini bagi kepentingan pengembangan bisnisnya. Sisanya berhasil dengan telak menyusun tumpukan gunung kertas di sudut ruang personalia yang makin lama kian usang dan absurd.

Bisa jadi di antara kelima alasan karyawan keluar yang di-share oleh ibu konsultan sebelumnya terselip di antara tumpukan itu. Coba perhatikan lima alasan karyawan keluar sebagai berikut: [1] atasan; [2] kesempatan karir; [3] politik kantor dan birokrasi; [4] pekerjaan yang sia-sia; [5] reward dan rekognisi. Alangkah indah dan betapa bahagianya hidup pimpinan perusahaan mendapat informasi sepenting itu.

Bayangkan berapa tingkat relevansi rencana program kerja organisasi terhadap kinerja bisnis jika disokong data-data tersebut. Bagaimana kebijakan perusahaan dibuat tidak hanya menyentuh nurani karyawan, tetapi mendorong improvement yang efektif di dalam organisasi. Itulah surga yang dijanjikan oleh exit interview. Bagi para kufur data, tentu yang bisa mereka lakukan hanya menyusun gunungan kertas.

Sejatinya ada beberapa kondisi yang menjadikan exit interview buang-buang waktu dan sia-sia. Itupun menurut pengalaman saya saja. Jadi jangan dianggap serius (hehe..). Silahkan lakukan pengamatan di kantor anda sendiri.

1. Exit interview dijadikan prasyarat keluarnya surat referensi kerja

Ini adalah kebijakan yang paling mendurhakai proses agung exit interview. Bagaimana tidak, proses transfer ilmu dan informasi yang maha penting direduksi menjadi sekedar “formulir” sekelas surat pengantar RT/RW belaka.Ujung-ujungnya, pada pelaksanaan di lapangan proses exit interview hanya berupa mengisi survey karyawan biasa tanpa inquiry lebih lanjut.

Jika anda menemukan proses ini di kantor anda, cepat-cepat peringatkan dengan keras panglima HRD anda atas dosa-dosanya. Jika tidak mempan, segera saja isi “formulir” itu dan hengkang dari sana.

2. Exit interview bertujuan untuk menawarkan program retaining

Saya paham tidak semua karyawan keluar adalah karyawan br*ngs*k. Ada juga karyawan bintang yang terlupakan oleh manajemen sehingga memilih untuk mencari majikan baru. Keterlupaan yang membawa efek maha dahsyat ini berusaha dibayar dengan memberikan program retaining (Red: Iming-iming kepada karyawan agar betah dan tetap kerja di kantor itu).

Kesalahan selanjutnya adalah meletakkan program tersebut di sesi exit interview. Peribahasa Indonesia memiliki segudang contoh perihal ini. Mulai dari nasi menjadi bubur sampai jatuh tertimpa tangga.

Dengan meletakkan program retaining di tengah forum exit interview, manajemen bukan saja membuat seolah-olah exit interview terhadap karyawan bermasalah tidak penting, tetapi juga merendahkan martabat organisasi di depan karyawan yang sebelumnya alfa dari perhatian kita. So, hindari pertanyaan, “Jika kami tawarkan (blablabla) maukah anda kembali join bersama kami?”. Saya haqul-yakin jika pertanyaan tersebut menjadi tujuan utama exit interview, selebihnya hanyalah pertanyaan basa-basi-busuk.

3. Exit interview hanya menjadi kertas kerja personalia

Pencatatan dan pengawasan data karyawan memang ranah kerja personalia. Tetapi sekali lagi jangan perkosa orang personalia anda dengan tugas membuat gunung dari kertas. Data exit interview bukan data yang abadi. Maksudnya, data itu bersifat kekinian dan real-time. Terlambat kita merespon isi data tersebut, bisa jadi kita akan terjebak di dalam pekerjaan mematikan api tanpa tahu dari mana sumber api dimulai.

Semakin penting data itu bagi organisasi, semakin cepat kita memahami apa yang sedang terjadi di lingkungan organisasi kita. Syukur-syukur jika data tersebut termasuk “data yang relevan” dalam pembahasan strategi perusahaan, khususnya pada bab strategi pengelolaan SDM.

Well, sekali lagi ini hanya pengalaman saya. Silahkan berkontemplasi aktif dengan mengajukan pertanyaan kepada bagian HRD anda, apa yang akan anda lakukan jika saya mengundurkan diri sekarang? Cukup pertanyaan saja, tanpa emosi, tanpa pretensi, tanpa ambisi. Semoga jawaban mereka membuat anda tenang di alam sana.


Comments

2 responses to “Mendulang Emas dari Karyawan Keluar”

  1. Mirza Abdillah Avatar
    Mirza Abdillah

    Good reflection Dauz. Menurut saya pribadi, feedback yg efektif sesungguhnya berasal dari karyawan yg masih engage dengan perusahan, baik melalui survey engagement, group discussion atau bipartite dimana kedua belah pihak masih mau bekerjasama menciptakan kondisi yg harmonis dan produktif.

    It takes two to tango! Feedback dari pasangan yg masih mau bertahan adalah lebih baik dari pada pesan terakhir dua orang yg akan saling meninggalkan.

    Like

    1. Good morning mas mirza. Pakabar? Thanks for comment. Saya sih agreed jika feedback dr karyawan aktif akan jauh lebih bermakna bagi perusahaan, pada kenyataanya memang seperti itu. Satu hal yg menjadi kuncinya adalah engagement. Sejauh perusahaan mampu mempertahankan dan meningkatkan tingkat engagement karyawan, itu menjadi mungkin. Untuk exit interview kita tak membutuhkan prasyarat “engaged”. Cukup kesabaran utk memilah mana data sampah dan mana data emas. Salam.

      Like

Leave a reply to Mirza Abdillah Cancel reply